News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ridwan Kamil Ikut Webinar KSDI Sambil Blusukan di Kaki Gunung Ceremai

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ridwan Kamil.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada lima prinsip Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam menangani dan menghadapi Covid-19 yaitu pro-aktif, transparan, ilmiah, inovatif dan kolaboratif.

Dalam hal pro-aktif, pemerintah Jawa Barat terus aktif tanpa harus selalu menunggu pusat karena pemerintah pusat pun tida semuanya punya kapasitas untuk memahami sepenuhnya bagaimana Covid-19 ini.

Namun di saat yang sama juga harus ada kombinasi knowlegde di daerah dan kebijakan pusat.

“Memang harus ada yang selalu disinkronkan antara kombinasi knowlegde di daerah dan kebijakan pusat frekuensinya. Jangan terjadi kegaduhan-kegaduhan karena multi-tafsir,” kata Ridwan Kamil saat menjadi narasumber Webinar Nasional Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertemakan "Strategi Menurunkan Covid-19, Menaikkan Ekonomi" yang diikuti ribuan partisipan melalui aplikasi Zoom 500 orang dan live streaming Youtube sebanyak 1.300 orang, Minggu (20/9/2020) sore.

Baca: Ridwan Kamil Jalani Suntik Vaksin Covid-19 Dosis Kedua: Setelah Vaksin Beli Odading Mang Oleh

Ridwan Kamil dan Maruarar Sirait.

Saat menjadi narasumber, Ridwal Kamil sedang blusukan dan berada di salah satu desa di Majalengka yang merupakan kaki gunung Ceremai sebab terus keliling ke desa-desa dan berbagai daerah di Jawa Barat dalam rangka menangani Covid-19 ini.

Keberadaan Emil di kaki gunung tertinggi di Jawa Barat dengan kawah ganda ini pun diapresiasi moderator yang juga Ketua Dewan Pembina KSDI, Maruarar Sirait.

Maruarar mengatakan bahwa berdasarkan data-data survei menunjukkan bahwa Ridwan Kamil termasuk kepala daerah yang sangat bagus dalam menangani Covid-19 sebab selain mengunakan pendekatan sains, juga banyak turun ke lapangan.

Maruarar juga mengapreasiasi Emil sebagai pemimpin berani dengan menjadi relawan vaksin.

Kembali ke Emil, demikian Ridwan Kamil disapa, bahwa ia menganggap Covid-19 ini sebagai peperangan.

Karena dalam kondisi perang maka semua orang harus bela negara, baik dengan harta, ilmu pengetahuan atau tenaga.

“Yang tidak bela negara dengan harta, dengan ilmu, dengan tenaga maka bela negaranya itu jangan jadi korban dengan menjauhi kerumunan dan kalau terpaksa berada di dalam kerumunan gunakan 3 M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak),” kata Emil.

Emil pun menilai ada pola komunikasi dalam penangangan Covid-19 ini dengan menggunakan tiga jenis kacamata, yaitu kacamata politik, ilmiah dan kemanusiaan.

Kalau menggunakan kacamata politik maka, dan ini yang mengisi ruang-ruang publik, sehingga isinya adalah ingin menyalahkan para pengambil keputusan, ingin membanding-bandingkan antara satu pengambil keputusan dengan pengambil keputusan lain.

“Harus kurangi mendiskusikan Covis-19 ini dengan kacamata politik yang sangat bising. Kita harus bergeser membaca Covid-19 ini dengan kacamata ilmiah dengan mencari solusi sama-sama, dan dengan kacamata kemanusiaan dengan solidaraitas, saling memahami, dan saling mengapresiasi,” ungkap Emil.

Baca: Warga Jakarta Diimbau Tak ke Jabar, Ridwan Kamil Sebut akan Terapkan Sanksi jika Imbauan Tak Mempan

Berdasarkan geografis, Emil melakukan manajemen penangangan Covid-19 yang berbeda.

Sebab di Jawa Barat ada sejumlah kota yang padat seperti Bekasi, namun juga ada kampung-kampung seperti di kaki gunung Ciremai yang tentu saja harus diperlakukan secara berbeda.

Maka di wilayah Jawa Barat, pertama, ada daerah seperti Bogor, Depok dan Bekasi yang bertentangga dengan Jakarta. Kedua adalah wilayah Bandung Raya dan ketiga adalah wilayah kabupaten/kota lainnya.

“Hingga saat ini Jawa Barat tidak pernah mengendurkan epidemiologi, tiap 14 hari, PSBB di Bodebek itu saya perpanjang. Hanya bedanya , karena wilayah kami ini tidak homogen seperti Jakarta, maka kami gunakan PSBM, atau pembatasan sosial berbasis mikro. Zona merah kita ketatkan, zona hijau kita longgarkan. Karena Covid-19 ini mengajarkan kita harus adil,” ungkap Emil.

Emil mengatakan bahwa di tengah situasi ini memang tidak bisa memenangkan keduanya antara kesehatan atau ekonomi. Pilihannya, pilih kesehatan dengan ekonomi hancur, atau sebaliknya.

Atau berada di wilayah abu-abu, yang kadang geser ke kesehatan atau geser ke ekonomi. Dan pilihan-pilihan ini tentu saja tak mudah.

“Setiap hari kami harus memutuskan bandul geser ke kesehatan dulu, ekonomi kita kurangi. Pada saat memungkinkan bandul bergeser ke ekonomi. Itulah rutinitas pengambil keputusan yang disebut gas dan rem," ungkap Emil.

Terkait dengan testing, Emil mengatakan bahwa Jawa Barat sudah terbesar kedua setelah Jakarta, yaitu sudah 330 ribu, dan saat ini sedang mengejar 500 ribu sebagai 1 persen WHO. Pemerintah Jawa Barat pun meminta lab-lab swasta, perusahaan swasta untuk ikut meningkatkan kapasitas testing dengan per service.

Maka jumlah testing di Jawa Barat ini bisa dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Emil pun meminta tak ada pihak yang membandingkan tes corona di Jakarta dan Jabar sebab tidak apple to apple.

"Jadi kalau dibandingkan dengan DKI kami selalu jauh. kenapa? karena fasilitas-fasilitas pemerintah pusat ngumpulnya di Jakarta. Sehingga agak tidak apple to apple membandingkan kapasitas testing. Di mana dukungan pemerintah pusat emang mayoritas ada di Jakarta. Harus diakui tapi tidak di provinsi-provinsi yang bukan Ibu Kota. Jadi kalau mau membandingkan, ya bandingkan yang apple to apple," ungkap Emil.

Lanjut Emil, bila me-lockdown wilayah maka ekonomi hancur. Atau cukup dengan me-lockdown mulut dan hidung dengan menggunakan masker, dan ekonomi tidak hancur.

Dan hal ini berdasarkan kacamata ilmiah bahwa sebenarnya bila pademi mau turun dan ekonomi mau jalan sebenarnya dengan 3 M sambil menunggu vaksin.

Dalam situasi ini, Emil mengatakan bahwa tugas pemimpin adalah memberikan sense of hope, dan bukan sense of fear. Pemimpin harus memberikan semangat dalam ketakutan, bukan memberikan ketakutan dalam situasi perang seperti ini.

“Ketakutan itu wajar, namun kalau pemimpinnya banyak menelurkan kalimat kalimat yang menegangkan, menakutkan itu akan mempengaruhi psikologis dan menurunkan imunitas. Maka kita coba, lebih menjadi sabar, lebih optimis, menjaga lisan dan membnerikan semangat bahwa kita InsyaAllah bisa memenangkan erang ini,” ungkap Emil.

Pengurus KSDI Kiki membacakan kesimpulan dari pemaparan Emil.

Selain itu, sambung Emil, pemimpin harus terus belajar dalam situasi ini sebab musuhnya bukan manusia yang tak bisa diloby secara politik atau dikomunikasikan. Covid-19 adalah musuh yang tak terlihat dan tak punya emosi.

“Di tengah pandemi, maka sebaik-baiknya pemimpin adalah yang berani mengambil keputusan, dan seburuk-buruknya pemimpin adalah yang tak mau mengambil keputusan. Dalam situasi ini, bagi saya, lebih baik mengambil keputusan dan bila keliru tinggal diperbaiki, daripada diam, pasif, tak berani mengambil keputusan,” jelas Emil.

Bagi Emil, Covid-19 ini juga ujian bagi pemimpin, ada yang patah, marah, stress, dan ada yang diam.

Namun ada juga pemimpin yang harus ambil resiko, yang tentu saja harus dengan membangun nilai-nilai spritual.

Diketahui, selain Emil, bertindak sebagai narasumber adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 WikuAdisasmito, Epidemiolog Universitas Indonesia Iwan Ariawan, Ekonom Universitas Indonesia Faisal H. Basri dan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.

Acara ini pun ditutup oleh Mendagri Tito Karnavian yang mengikuti Webinar yang berlangsung selama lima jam ini dari awal hinga akhir.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini