TRIBUNNEWS.COM - Ketua MUI Sukoharjo, Drs K H Abd. Faishol, M Hum berharap masjid menjadi sebagai salah satu cara untuk memoderasikan agama.
Hal tersebut ia sampaikan saat gelaran Sarasehan Takmir Masjid Solo Raya bertema Masjid Merdeka (Moderat dan Berwawasan Kebangsaan), Selasa (3/11/2020).
Faishol melihat akhir-akhir ini masjid kian berada dalam tantangan ektremisme.
Menurutnya, gejalanya dapat dilihat dari pergeseran yang biasanya masjid hanya menjalankan ritual keagamaan dan harmonisasi sosial, kini bergeser pada ideologisasi politik dan Islam transnasional.
Baca juga: Komisi Fatwa MUI Ingatkan Pentingnya Penuhi Hak Jenazah Muslim yang Terpapar Covid-19
Baca juga: MUI Ajak Umat Islam di Indonesia Boikot Semua Produk asal Prancis
“Praksisnya, gerakan ideologis masjid dan Islam transnasional seperti berdirinya halaqah-halaqah dan kritik miring terhadap ulama-ulama alim Nusantara dan dunia,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.
Faishol menilai, seringkali melakukan takfiri, musyrik, bid’ah dan melakukan garis damarkasi dengan yang mereka anggap menyimpang.
Maka ia berharap, takmir-takmir masjid ini sebagai pemegang otoritas keagamaan kultural di tengah masyarakat Solo Raya, dapat menukangi pemahaman dan sikap ekstremisme itu.
“Caranya, takmir-takmir masjid Se-Solo Raya kompak melakukan kontra narasi dalam ekspresi keagamaan dan melakukan pemberdayaan sosial,” imbuhnya.
Faishol melanjutkan, narasi-narasi dan wacana-wacana seperti jihad, penegakan syariat, dan wacana islamisme, termasuk kritik keras terhadap kebijakan pemerintah, dapat diarahkan ke jalan tengah dan pas dalam konteks keagamaan dan kewarganegaraan di Indonesia, khususnya di Solo Raya.
Dengan memperdalam keislaman dan mengetahui seluk beluk baik dalam hal naqli (tatharuf dan tasyadud) dan aqli (tasahul dan tatharuf), maka dapat meningkatkan pengetahuan genealogis ajaran agama dan sosial kemasyarakatannya.
Lebih jauh dari itu, Faishol menyebut takmir masjid sebagai orang yang paham agama dapat mengkomparasikan dalil naqli dan aqli dengan waqli yaitu nalar dan sikap (tawassuth, tawazun, tasamuh) itu untuk dijadikan konsep jalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Baca juga: Isu Boikot Produk Perancis Menggema, MUI Minta Masyarakat Tidak Terprovokasi
Baca juga: MUI Kecam Macron, Seruan Boikot Produk Prancis di Negara-negara Arab
"Apabila hal di atas dapat diakukan, inysaallah keagamaan, kewarganegaraan, dan keindonesiaan berjalan dengan damai."
"Kesadaran itu, akan melahirkan manusia, agama, dan budaya yang rahmat atau maslahat kepada seluruh alam," ucap Faishol.
Terakhir Faishol berharap dan menginginkan peran masjid dapat dikembalikan kembali pada fungsinya, yakni:
1. Sebagai sarana ritual (ibadah mahdhah, salat berjamaah).
2. pendidikan rakyat (pengadaan pengajian rutin dan temporal).
3. pendidikan formal (pengadaan TPQ, Diniyah, Sekolah, Pesantren).
4. Sosial Ekonomi (pengadaan santunan pada fakir miskin, simpan pinjam dan lain sebagainya).
5. Sosial budaya (mengadakan pengembangan seni dan budaya di masyarakat).
6. Politik kebangsaan (menanamkan cinta kebangsaan untuk membangun wawasan kebangsaan yang moderat.
"Akhirnya, bila ini dapat dilakukan dan digerakkan takmir-takmir masjid, masjid bukan hanya sebagai tempat ritual, tetapi juga dapat menerangi gulita umat, protektif, produktif, bahkan developmental," tandas Faishol.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)