TRIBUNNEWS.COM, YOGYAARTA - Tanggal 5 November 2020, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi ( BPPTKG) Yogyakarta menaikkan status Gunung Merapi dari Waspada (level II) menjadi Siaga (level III).
Hingga kini, Gunung Merapi terus mengalami peningkatan aktivitas di puncak gunung. Atau bisa dikatakan, Gunung Merapi telah mendekati erupsi.
Ini dikatakan Kepala BPPTKG, Hanik Humaida dalam Webinar yang diselenggarakan oleh UGM-Kagama yang bertajuk " Erupsi Merapi, Apa yang Bisa Dilakukan?", Minggu (29/11/2020).
Menurut Hanik, aktivitas Gunung Merapi sekarang ini menunjukkan ke arah terjadinya erupsi sebab dari data seismik keluaran gas dan deformasi masih tinggi dan aktivitas guguran makin terus meningkat.
"Hal ini menunjukkan mendekatnya waktu erupsi," ujar Hanik Humaida seperti dikutip dari laman UGM, Senin (30/11/2020).
Hanya saja, untuk kapan terjadinya erupsi, Hanik tidak menyebutkannya namun, dia memprediksi erupsi Merapi kali ini tidak sebesar pada erupsi tahun 2010 yang lalu.
"Kalaupun terjadi erupsi diperkirakan tidak sebesar pada 2010," katanya.
Ia mengimbau kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Merapi untuk tetap siaga dan memperhatikan arahan dari pemerintah setempat agar tidak terjadi korban jiwa.
Baca juga: BNPB Minta Antisipasi Fenomena La Nina dalam Mitigasi Erupsi Gunung Merapi
"Masyarakat diminta untuk mengikuti arahan dari pemerintah setempat dan tidak terpengaruh dari informasi yang tidak jelas sumbernya," urainya.
Pentingnya mitigasi bencana
Sementara Ketua Umum Kagama yang juga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten di Jawa Tengah.
Kabupaten itu tentu yang dekat dengan Gunung Merapi, seperti Magelang, Klaten dan Boyolali.
Karena itu koordinasi dilakukan untuk mengantisipasi dampak bahaya erupsi dan wedus gembel (sebutan awan panas).
Selain itu, melakukan waktu evakuasi dengan tepat, namun tetap menjalankan protokol kesehatan di tempat pengungsian untuk mencegah penularan Covid-19.
"Saya kira ini PR yang tidak mudah, di masa pandemi ini lokasi pengungsi memang harus dibuat berjarak dan memisahkan dengan kelompok yang rentan," terangnya.
Agar menghindari adanya korban, pihaknya melakukan mitigasi pengurangan risiko bencana yang disiapkan dari awal.
Baca juga: Semua Pengungsi Gunung Merapi di Desa Tegalmulyo dan Balerante Klaten Negatif Covid-19
Meski menurutnya masyarakat di sekitar Merapi memiliki kearifan sendiri untuk mengenal tanda-tanda kapan untuk melakukan evakuasi dan mengungsi.
"Kita ingin memastikan semua nantinya terlaksana dengan baik. Kita perlu memberikan pemikiran dan memberikan gambaran untuk membantu risiko bencana bisa dikurangi dengan baik," urai Ganjar Pranowo.
Berkaca dari sejarah erupsi Merapi Sementara Kepala Pusat Studi Bencana UGM, Dr. Agung Harijoko menyatakan, studi soal sejarah erupsi diketahui Merapi pernah erupsi eksplosif dengan tipe sub plinian hingga tipe plinian dengan erupsi besar terjadi pada tahun 2010 dan 1872.
"Jangka perulangannya terjadi kurang lebih seratus tahun," paparnya.
Ia menyebutkan pengalaman pada kerajaan Mataram kuno di abad ke-8 dan ke-9 yang tidak mampu menyelamatkan infrastruktur seperti bangunan candi yang akhirnya tertutup oleh bekas erupsi.
Sedangkan penduduk ketika itu sebagian besar memilih mengungsi ke daerah Jawa Timur.
"Dulu tidak ada mitigasi sehingga beberapa candi tertutup oleh erupsi.
Manusianya ketika itu berpindah ke Jawa Timur untuk menyelamatkan jiwa," jelasnya.
Untuk itulah dari pengalaman di masa lalu itu menurutnya, perencanaan pembangunan sekarang ini perlu memperhatikan aspek kebencanaan dengan memahami sejarah erupsi dan mengetahui daerah mana saja yang terancam terkena dampak erupsi. (Kompas.com/Albertus Adit)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dalam Webinar UGM, Kepala BPPTKG: Merapi Mendekati Erupsi"