Isinya hanya dua kamar dan satu ruang tamu.
Kamar mandinya di luar.
Rumah Sagiyem tidak dicat, hanya diplester dan ditutupi aci.
Atapnya tidak memiliki eternit, namun cukup tinggi sehingga pertukaran udara tetap bisa terjadi.
“Setelah melahirkan, saya hanya punya uang Rp 20 untuk membeli jamu. Saya tidak punya apa-apa,” tuturnya dengan cukup terbata-bata.
Saat menceritakan kisah Sri Lestari, mata Sagiyem tak berhenti berkaca-kaca.
Mulutnya bergetar dan raut wajahnya sedih.
Sesekali, ia mendongakkan kepala ke atas agar air mata itu tidak jatuh dan tetap terlihat tegar.
“Saya serahkan anak itu, tapi saya juga sedih, tidak bisa tidur dan selalu berdoa agar ada yang memberitahu kabar anak saya,” paparnya.
Baca juga: Kisah Sopir Wali Kota Solo Gibran, Slamet Ditunjuk H-1 Pelantikan, Berjanji Bertugas Dengan Baik
Selama 1-2 tahun, Sagiyem terpuruk.
Pikirannya kemana-mana dan tidak fokus.
Ia selalu bertanya, bagaimana kabar si anak.
Apakah dia baik-baik saja?
Di masa sedih itu, keluarga Sagiyem berusaha menenangkannya.