TRIBUNNEWS.COM, PONOROGO - Letaknya tak jauh dari pusat kota Ponorogo Jawa Timur, namun Sumbulan nama kampung di Bumi Reog ini justru ditinggalkan penghuninya.
Bagaimana suasana di kampung di Desa Plalangan, Kecamatan Jenangan ini?
Surya co.id (Tribunnews.com Network) menelusuri di kampung yang berjarak 10 Km dari pusat kota Ponorogo ini.
Walaupun tidak terlalu jauh dari pusat kota, Kampung Sumbulan memang terbilang terpencil.
Warga harus melewati jalan setapak lebih dari 3 Km di tengah hamparan sawah yang jauh dari kampung lainnya.
Walaupun tak terlalu jauh dari pusat Kecamatan Ponorogo, untuk menuju kampung Sumbulan memerlukan waktu tempuh hampir satu jam.
Baca juga: Melihat Sumbulan, Kampung Tanpa Penghuni di Ponorogo, Hanya Masjid yang Masih Ada Aktivitas
Baca juga: Cicak Unik, Berkepala Dua Berkaki Lima Ditemukan Warga Ponorogo
Tribunnews.com Network melewati jalan Niken Gandini.
Dari Jalandi kawasan Desa Setono Kecamatan Jenangan ini menjumpai gang di samping lapangan Seblabur di dekat SMKN 1 Jenangan.
Dari situ jalan sudah mulai menyempit, berlubang.
Tribunnews.com Network akan melewati jembatan serta beberapa tanjakan serta turunan hingga sampai di area persawahan.
Setelah sampai area persawahan, Tribunnews.com Network menemui medan jalan yang semakin sulit.
Selain menyempit, jalan menuju ke kampung Sumbulan juga belum diaspal.
Meski bisa dilewati kendaraan bermotor, pengendara harus berhati-hati, apalagi jika sehabis turun hujan.
Jalan masih beralaskan batu makadam dan tanah sehingga akan sangat licin.
Tribunnews.com Network harus melewati jalan tanah di area persawahan sepanjang lebih kurang 3 Km hingga sampai ke Kampung Sumbulan.
Jalan tersebut hanya cukup dilewati satu mobil dan akan mentok di kampung Sumbulan.
Menuju ke Kampung Sumbulan ini tak sedikit warga yang juga sungai dengan meniti jembatan bambu dari Desa Singosaren, yang dibuat oleh warga untuk akses ke Persawahan ataupun menuju satu-satunya masjid yang berada di lingkungan Sumbulan.
Kampungnya Sunyi, Hanya Masjid yang Ada Aktivitas
Akhirnya Tribunnews.com Network sampai ke Kampung Sumbulan.
Hanya ada empat rumah yang masih berdiri di kampung yang sering disebut Sumbulan tersebut sunyi.
Pintunya tertutup dan nampak tidak ada aktivitas sama sekali.
Sebagian rumah nampak sudah reot dan struktur bangunannya sudah rusak.
Satu-satunya bangunan yang masih digunakan aktivitas adalah masjid.
Halaman masjid tua tersebut terlihat asri dengan payungan pohon Sawo Kecik yang rindang dan hiasan bedug masjid tua yang masih terawat.
Tohari, seorang eks warga kampung Sumbulan yang sehari-hari menyempatkan diri untuk menengok kampung halamannya tersebut.
Ia selalu mampir ke kampung halamannya tersebut sepulang dari sawahnya.
Tohari tidak ingin masjid di kampung tersebut mangkrak tak digunakan sama sekali.
"Sepulang dari sawah saya ke sini. Untuk Salat Dhuhur dan Salat Ashar," jelas Tohari.
"Kalau waktunya salat Subuh, Maghrib, Isya ya kosong," lanjutnya.
Kampung Sempat Ramai karena Ada Pesantren, Ditinggalkan Warga Sejak 1960 an
Tohari menceritakan, dulunya kampung tersebut ramai layaknya kampung yang lain.
Bahkan sempat ada pesantren yang mempunyai cukup banyak santri.
Namun mulai tahun 1960 an, warga kampung Sumbulan mulai meninggalkan kampung halamannya.
"Misalnya menikah, warga sini selalu pindah ikut pasangannya. Lalu ada juga yang kerja dan pindah rumah," terang Tohari.
Begitupun Tohari yang memutuskan untuk pindah ke Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Babadan pada tahun 1982.
Mantan warga kampung Sumbulan, Sumarno, menyebutkan Masjid yang merupakan satu-satunya penunjuk ada aktivitas di kampung Sumbulan merupakan peninggalan sebuah pondok pesantren.
Pondok tersebut mulai didirikan sekitar tahun 1850- an oleh Nyai Murtadho saat masih bujang.
"Nyai Murtadho ini mendirikan sebuah pesantren yang disebut Sumbulan pada tahun 1850.
Beliau ini anak seorang ulama dari Demak," jelas Marno, Rabu (3/3/2021).
Berjalannya waktu, pondok pesantren tersebut semakin besar dan santrinya semakin banyak, termasuk dari luar daerah.
Mereka pun mendirikan pondok semipermanen dan lama-lama menetap di Sumbulan.
"Jadi penduduknya itu para santri hingga sampai 17 rumah," lanjutnya.
Namun, sepeninggal Nyai Murtadho dan keluarganya, pondok pesantren tersebut semakin sepi.
"Sewaktu kecil sekitar tahun 1971 bangunan pesantrennya roboh.
Sejak itu dan bahkan sebelumnya sudah banyak yang meninggalkan Sumbulan," lanjutnya.
Hingga terakhir tahun 2016 kampung tersebut benar-benar kosong tanpa penghuni satu pun.
Akses Jalan Jadi Alasan Warga Tinggalkan Kampung Sumbulan?
Mayoritas, penyebab warga Kampung Sumbulan pindah adalah akses jalan yang sulit.
Alasan Marno salah satu eks warga pindah dari Kampung Sumbulan karena akses jalan yang sulit.
Ia bercerita sewaktu kecil ia harus berjalan berkilo-kilo meter di jalan setapak untuk sampai di jalan raya.
"Sekarang yang aktif ya hanya masjid itu. Orang-orang di utara sungai juga jarang ke masjid itu karena aksesnya hanya jembatan bambu," kata Marno.
Setelah menyebrang sungai, warga masih harus melewati jalan tanah yang menanjak.
"Tapi kalau hari raya, mereka salat Idul Fitri di masjid itu.
Beberapa warga asli Sumbulan juga berkumpul untuk menjenguk kampung halamannya," jelasnya.
Marno dan beberapa warga berharap jalan menuju Sumbulan diperbaiki, sehingga warga bisa mengakses kampung halamannya dengan mudah.
"Sebenarnya ya enak saja tinggal di sini. Listrik juga sudah ada. Tapi tidak ada tetangganya," jelas Tohari.
Jika akses jalan diperbaiki, tidak menutup kemungkinan banyak warga yang akan kembali tinggal di kampung tersebut.
((Surya.co.id/Sofyan Arif Candra Sakti)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Melihat Dari Dekat Sumbulan, Kampung Tanpa Penghuni di Pelosok Kabupaten Ponorogo,