News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Cerita di Balik Deretan Rumah Mewah Sebuah Kampung di Wonogiri yang Kosong Ditinggal Penghuninya

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Deretan Rumah Mewah di Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto, Wonogiri.

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Agil Tri

TRIBUNNEWS.COM, WONOGIRI - Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto, Wonogiri nampak seperti komplek vila mewah yang ada di Tawangmangu, Karanganyar. 

Pasalnya, banyak rumah mewah bak vila yang berdiri.

Selain itu, lokasi geografis di Desa Bubakan yang merupakan pegunungan.

Namun, rumah-rumah mewah tersebut bukanlah vila untuk disewakan kepada wisatawan. 

Rumah-rumah tersebut merupakan rumah pribadi warga Bubakan yang sukses. 

Menurut Sekretaris Desa Bubakan, Suparto, 70 persen warganya merupakan perantau. 

"Penduduk Desa Bubakan ada sekitar 5 ribu orang, yang tersebar di 10 dusun. Dan mayoritas mereka adalah perantauan," katanya, Kamis (20/5/2021).

Baca juga: Kisah Perantau Putar Otak di Tengah Larangan Mudik, Naik Truk Sayur, Travel Gelap dan Mobil Boks

Warga Bubakan yang merantau kebanyak berjualan Bakso dan Jamu.

Mereka yang sukses diperantauan kemudian membangun rumah mereka di Desa.

Suparto mengatakan, kebanyak warganya merantau di Jabodetabek, Sumatra, Kalimantan, hingga Papua. 

"Rumah yang bagus-bagus, yang rumahnya tingkat itu milik warga kami yang sukses diperantauan," ujarnya. 

Biasanya, banyak warganya yang pulang hanya untuk merenovasi rumah mereka, kemudian ditinggal lagi ke perantauan untuk bekerja.

Banyak rumah-rumah yang berdiri megah itu kosong karena ditinggal pemiliknya merantau. 

"Disini kalau ramainya saat lebaran, perantauan pada pulang. Kalau tidak, saat ada tetangga ada saudara yang melaksanakan hajatan," ujarnya. 

Namun selama dua tahun ini, jumlah kaum boro yang mudik semakin sedikit karena virus corona. 

Sejarah Perantauan

Sebelum menjadi desa elit, Desa Bubakan dulunya ada Desa yang tertinggal. 

Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya merupakan petani di Desa. 

Namun pada tahun 1980-an, beberapa warga Desa diajak merantau oleh pengusaha asal Sukoharjo, Mbah Joyo. 

"Mereka ikut mbah Joyo, jualan Jamu dan Bakso. Mereka diminta menunggu cabang milik mbah Joyo itu," ujarnya. 

Setelah belajar cara membuat dan berjualan jamu saat bekerja dengan mbah Joyo, mereka kemudian membuka usaha mereka sendiri.

Saat berwirausaha tersebut, mereka mengajak warga desa yang lain sebagai pekerjanya.

"Dari situ, banyak warga yang mulai merantau ke berbagai kota di Indonesia. Mereka jualan jamu dan bakso, dan sukses," ujarnya. 

Kesuksesan itupun terus diwariskan ke genarasi berikutnya hingga sekarang. 

"Saat ini yang merantau atau meneruskan usaha keluarganya sudah generasi ketiga," katanya. 

Sulit Mencari Pekerja

Banyaknya orang yang sukses di Desa Bubakan, membuat para pengusaha di perantauan kesulitan mencari tenaga kerja dari desanya. 

Kebanyakan warga Desa Bubakan memilih untuk bersekolah atau membuka usaha sendiri. 

"Saat ini, anak-anak muda yang belum pengalaman kalau ditawati kerja itu mereka lihat gajinya. Kalau cuma digaji Rp 1,2 juta, mereka gak mau," ujarnya.

Pendidikan Maju

Suaprno mengatakan, tingkat pendidikan di Desanya semakin maju seiring dengan kesejahteraan ekonomi yang didapatkan. 

Banyak pemuda di Desa Bubakan yang menjadi sarjana. 

"Kalau ada yang cuma tamatan SMP, itu karena orangnya memang memilih untuk bekerja, dan memutuskan tidak lanjut sekolah," jelasnya. 

Banyak juga perantauan sukses di Desa Bubakan yang menyekolahkan pemuda-pemudi di Desa Bubakan. 

"Solidaritas warga desa kami tinggi. Jiwa sosial mereka tetap baik meski sudah banyak yang sukses," ujarnya.

"Mereka tak lupa kampung halamannya," tandasnya.

Sukses merantau

Perjuangan Kadiyem (46) warga Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto, Wonogiri sebagai perantuan tidak mudah.

Sebelum sukses berjualan bakso di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan, Kadiyem sempat merantau di Serang, Banten.

"Awal tahun 90'an saya sempat merantau di Serang. Awalnya jualan bubur sumsum. Lalu jualan jamu," katanya Kamis (20/5/2021).

Beberapa waktu di Serang, pendapatan yang ia peroleh hanya untuk hidup sehari-hari. Sehingga dia memutuskan untuk pulang.

Pada tahun 2014, dia ikut temannya merantau ke Lubuklinggau.

Disana dia jualan jamu keliling, sementara sang suami jualan bakso keliling.

Sampai suatu hari, Kadiyem bertemu dengan seorang kakek mengenakan baju putih dan topi caping.

"Kakek itu minta minum, katanya haus, tapi gak punya uang. Saya kasih jamu dan masih saya bungkusin jamu," ujarnya.

"Kakek itu bilang, dua sampai tiga minggu lagi saya jualannya suruh di tempat saja, gak usah keliling. Kakek itu pergi dan tiba-tiba menghilang," tambahnya.

Sejak itu suami Kadiyem mengontrak sebuah rumah yang dijadikan warung bakso. Benar saja, setiap hari warung bakso ramai dipenuhi pelanggan.

"Saya kalau ingat kakek itu, selalu menangis," imbuhnya.

Saat ini Kadiyem hanya berjualan bakso. Dari penjualan baksonya itu, dia dapat membangun rumah yang megah di Desa Bubakan.

Meski bisa membeli dan membangun rumah di Bubakan, dia enggan membeli rumah ditempat rantaunya.

"Disana saya masih mengontrak. Memang saya gak mau beli rumah disana, karena saya ingin tetap tinggal dan pulang kesini (Bubakan)," tambahnya.

Selain melayani pelanggan yang di warung, Kadiyem juga melayani catring diberbagai acara termasuk acara kedinasan.

Biasanya, Kadiyem dan keluarganya lebih sering di perantauan. Anak-anaknya ia sekolahkan di Lubuklinggau.

"Ini saya di rumah karena sedang renovasi rumah," ujarnya.

Saat ditanya berapa pendapatan rata-rata Kadiyem berjualan bakso, dia enggan menjawab.

Artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Kisah Perantau Wonogiri yang Sukses Jualan Bakso, Kini Bangun Rumah Mewah di Kampung

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini