News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

PPLI: Limbah Medis Teratasi, Jaga Lingkungan Tetap Lestari

Penulis: garudea prabawati
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kawasan pengolahan limbah B3 PT PPLI di Cileungsi Bogor

“Mulai dari 19 Maret 2020 atau setelah kasus Covid-19 pertama di Indonesia hingga 4 Februari 2021 setidaknya terdapat 6.417,905 ton limbah medis." (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Garudea Prabawati

TRIBUNNEWS.COM – Peningkatan volume limbah medis menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi Indonesia, seiring dengan adanya Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Satu di antaranya yang terjadi di Surakarta, Jawa Tengah.

Seperti halnya daerah-daerah lain, kota kelahiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini juga terus 'bergulat' dengan adanya limbah-limbah medis.

Bukan sekadar limbah saja, namun masuk kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

Sifatnya pun infeksius, bisa saja menularkan penyakit pada manusia yang rentan apabila tidak tertangani dengan baik.

Kasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surakarta Herri Widiyanto mengatakan volume limbah medis memang mengalami peningkatan.

“Kenaikan limbah B3 nasional rata-rata 30 persen, sedangkan di Surakarta untuk fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) rumah sakit (RS) di kisaran 20 persen, kemudian fasyankes puskesmas itu di kisaran 10 persen,” ujar Herri kepada Tribunnews, Selasa (31/5/2021).

Pihaknya mengatakan tingginya aktifitas fasilitas pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit infeksius di masa pandemi menjadi faktor peningkatan volume sampah medis, di antaranya vaksinasi.

Baca juga: 27 tahun PPLI Berkiprah, Raih 21 Penghargaan mulai dari CSR Award Hingga Zero Accident

Selain itu juga adanya perlengkapan medis sekali pakai, yakni masker, sarung tangan, dan hazardous material (hazmat), jarum suntik, kapas, tisu, makanan sisa pasien, dan lainnya juga turut serta ikut andil.

“Kalau rata-rata di Kota Surakarta untuk limbah karakteristik infeksius itu mencapai  5 ton hingga 7 ton per hari dihasilkan fasyankes RS, puskesmas termasuk laboratorium kesehatan di seluruh Kota Surakarta,” tutur Herri.

Untuk mencapai penanganan limbah medis yang optimal, Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta kini menerapkan laporan dari Fasyankes dilakukan per minggu.

Sementara pengelolaan limbah hingga distribusinya ke pihak ketiga sudah tercatat secara detail.

Insinerator

Situasi di RSUD Dr Moewardi Solo, Jumat (13/3/2020) (TRIBUN JATENG/AGUS ISWADI)

Baca juga: Bentuk Tanggungjawab Sosial Perusahaan Limbah, Ribuan Pasien Manfaatkan Klinik PPLI

"Fasyankes di Kota Surakarta sendiri masih bekerja sama dengan pihak ketiga," terang Herri. 

Saat ini baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Moewardi yang memiliki alat pembakar limbah atau insinerator.

Bahkan RS yang terletak di Jl Kolonel Sutarto No.132, Jebres, Kecamatan Jebres, ini sudah memenuhi standar olah limbah dan mengantongi izin nasional.

Terkait pengolahannya, lanjut Herri, limbah medis infeksius dibakar dalam tungku pembakaran, mengkonversi materi padat sampah menjadi materi gas dan abu (bottom ash dan fly ssh).

“Sementara rumah sakit hingga fasyankes lainnya menggunakan pihak ketiga,” jelas Herri.

Namun memang semua rumah sakit di Surakarta sudah memiliki mesin penyimpan limbah sementara yang sesuai standar.

Tempat penyimpanan ini dikhususkan, masuk ke mesin pendingin untuk masa simpannya maksimal adalah 2 x 24 jam.

Disimpan di tempat penyimpanan dengan suhu di atas 0 derajat, dan sampai 90 hari jika disimpan di tempat dengan suhu kurang dari 0 derajat.

Bekerja Sama dengan PPLI

Herri mengatakan pengolahan limbah medis di Kota Surakarta masih melibatkan pihak ketiga, termasuk bekerja sama dengan PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI).

RSUD Dr Moewardi misalnya, walaupun sudah memiliki insinerator namun tetap belum bisa mandiri mengolah bottom ssh dan fly ash.

“Hasil dari pembakaran di insinerator ini yakni bottom ash dan fly ash, pengolahannya masih bekerja sama dengan pihak ketiga yakni PPLI, karena memang di Surakarta belum ada lahan untuk sanitary landfill atau penimbunan terkendali,” lanjut Herri.

Baca juga: PPLI Dukung Kebijakan Pemerintah Alihkan Lima Perusahaan Dikelola PPA

Dengan kata lain abu sisa insinerator ini ditimbun di landfill  karena abu insinerator mengandung bahan-bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan termasuk adanya parameter-parameter logam.

Sementara itu Manajer Humas PT PPLI, Arum Pusposari menjelaskan, memang tidak dipungkiri penanganan limbah medis cukup kompleks.

“Karena dia tergolong sebagai limbah yang infeksius jadi sifatnya dia beracun dan bisa menular dan menginfeksi orang,” katanya kepada Tribunnews, Selasa (1/6/2021).

Maka dari itu treatment pengolahannya harus detail, mulai dari limbah datang, packaging limbah, pembakaran, hingga akhirnya dapat aman dilepas ke alam.

Proses

Teknologi pengolahan limbah B3 PPLI di Kecamatan Klapanunggal, Bogor. (ISTIMEWA)

Limbah infeksius yang dihasilkan dari tempat medis dan diolah ke PPLI akan memiliki packaging berwarna kuning.

“Sehingga orang tahu bahwa limbah ini adalah limbah infeksius, kemudian tidak hanya dibungkus plastik juga akan dilengkapi dengan box, kemudian akan diangkut dengan kendaraan khusus yakni refrigerator truck atau truk pendingin,” kata Arum.

Suhu dalam refrigerator truck mencapai sekitar -18 Celcius, hal ini agar menjaga limbah medis tetap aman, tidak mudah bereaksi bakteri dan kuman-kumannya.

Bukan hanya soal moda transportasi saja, anak perusahaan dari Dowa Eco-System Co LTD ini juga menjaga profesionalitas pengendara refrigerator truck.

Mereka akan menggunakan alat pelindung diri yang lengkap.

Mereka menggunakan pakaian khusus pelindung diri, menggunakan respirator, sepatu safety, kacamata globe, sarung tangan, sehingga saat mereka mengambil limbah itu mereka betul-betul terlindungi.

Baca juga: PPLI Dukung Kebijakan Pemerintah Alihkan Lima Perusahaan Dikelola PPA

“Para petugas pengambil limbah juga melalui proses pelatihan, sehingga akan profesional ketika di lapangan, mereka pun tahu bagaimana bertindak cepat ketika ada tumpahan limbah atau kebocoran limbah, jadi memang dedicated person-nya itu ada,” imbuhnya.

Lalu setelah limbah diangkut ke PPLI, akan ditimbang untuk mengetahui tonasenya.

Dan setelah itu limbah medis akan dibakar di insinerator, di mana dalam hal ini PPLI masih menggunakan jasa pihak ketiga.

Namun walaupun demikian kini PPLI akan mengoperasikan insinerator pengolahan limbah yang rencananya akan beroperasi bulan depan, lanjut Arum.

Insinerator ini nantinya akan berlokasi di pusat fasilitas pengolahan limbah B3 PT PPLI di Bogor, Jawa Barat.  

Memungkinkan untuk menghilangkan racun B3 dari bahan yang tidak cocok untuk diolah secara teknologi waste to energy maupun landfill.

“Kapasitas pengolahan adalah 50 ton per hari, dan akan beroperasi bulan depan,” ungkapnya.

Landfill dan Tanah Subur

Abu sisa pembakaran limbah di insinerator atau bottom ash dan fly ssh akan ditimbun di area Landfill PPLI.

Seperti halnya yang dilakukan RSUD Dr Moewardi Surakarta.

“Abu sisa yang ditimbun di area landfill, tidak akan berbahaya bagi alam dan, karena titik panas pembakaran di insinerator itu sudah cukup untuk menghilangkan atau membunuh kuman serta bakteri infeksius yang ada dalam limbah medis,” kata Arum.

Baca juga: Cegah Penyebaran Wabah Covid Melalui Limbah Medis, Rumah Sakit Gandeng PPLI

Hingga hasilnya nyata terhampar di Kawasan Eco-Landfill PPLI, area seluas 43 hektar berupa bukit hijau nan subur.

Hasil pengolahan limbah ditimbun dengan tanah, hijau menghampar, dan tetap bisa ditanami pepohonan atau tumbuhan.

Tanah tetap subur dan tidak tercemar limbah, ujar Arum.

Hingga kini sejumlah rumah sakit telah bekerja sama dengan PPLI untuk menangani limbah medis yang dihasilkan setiap harinya.

"Lantaran pembakaran limbah medis harus dilakukan dengan benar, agar tidak lagi bersifat toksik, dan membahayakan alam, menjaga bumi tetap lestari," tuturnya.

Pembakaran Sempurna

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sudah mengangkut 1.213 kilogram atau 1,2 ton limbah masker sekali pakai. (Dok. Dinas Lingkungan Hidup DKI)

Senada dengan PPLI, Pengamat Lingkungan dari FPIk Institut Pertanian Bogor (IPB), Bidang Keahlian Ekotoksilogi, Etty Riani berujar limbah medis harus dibakar dengan sempurna.

Setidaknya dibakar di insinerator dengan suhu minimal 1000 derajat.

"Ketika pembakaran limbah medis itu tidak sempurna, akan timbul masalah lain, karena pembakaran yang tidak sempurna itu akhirnya akan menghasilkan B3 yang lain salah satunya adalah dioxin dan furan" kata Etty kepada Tribunnews.

Setelah pembakaran itu sempurna, dapat menghasilkan energi (waste to energy), dan ketika ditimbun di landfill tetap tidak merusak kesuburan tanah.

Menurut pengamatan Etty, limbah medis di Indonesia lambat laun memang teratasi, pun penanganannya lebih baik dibandingkan dengan saat awal pandemi.

Di mana banyak kasus limbah medis yang dibuang sembarangan, terabaikan di alam sekitar, tanpa ditangai.

Di antaranya di laut juga kawasan padat penduduk.

"Karena memang pencemaran limbah medis tidak hanya dari sisi infeksius saja, lama-kelamaan kalau tidak ditangani dengan benar limbah medis akan menjadi tumpukan sampah plastik yang juga mencemari lingkungan hidup dan kesehatan, maka ini menjadi PR bersama," tutupnya.

(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)

Berita lainnya soal Pengolahan Limbah PPLI.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini