TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bali dipimpin oleh kepala baru sejak awal Mei 2021 lalu. Kepala BNNP Bali yang baru itu ialah Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi Drs. Gde Sugianyar Dwi Putra, S.H., M.Si.
Meskipun baru menjabat, Sugianyar mudah akrab dengan kalangan media. Ternyata, media memang bukan hal asing bagi Sugianyar, karena sebelumnya jenderal bintang satu ini pernah menjadi Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Bali pada 2008-2011.
Tribun Bali melakukan wawancara khusus dengan perwira tinggi kepolisian asal Gianyar ini, Jumat (11/6) lalu, untuk mengetahui program prioritasnya, serta hal-hal lain terkait perang melawan narkoba di Bali. Berikut sebagian wawancara itu.
Setelah menjadi Kepala BNNP Bali yang baru sejak awal Mei 2021, bagaimana Anda melihat kondisi kasus narkotika di Bali ?
Saya bertugas sebagai Kepala BNNP Bali ini sekitar sebulan lebih sedikit. Sebelumnya menjabat Kepala BNNP Nusa Tenggara Barat (NTB) selama sekitar 2 tahun.
Relatif permasalahan yang dihadapi hampir sama, namun dari sisi prevalensi di Bali masih sedikit di bawah NTB. Misal, di NTB 60 ribu orang, di Bali 50 ribu orang.
Apa strategi atau adakah program prioritas yang diterapkan dalam memerangi kasus narkoba di Bali?
Sebagaimana yang dicanangkan oleh Bapak Kepala BNN RI Komjen Pol Reinhard Golose yang pernah menjabat sebagai Kapolda Bali, kami nyatakan perang melawan narkoba dengan tagline “War On Drugs”.
Kami ada 3 pendekatan dalam “War on Drugs” demi mewujudkan Indonesia Bersinar, maksudnya Bersih dari Narkoba.
Pendekatan pertama dengan hard power yakni dengan menumpas habis para bandar pengedar dan jaringannya dengan ancaman hukuman mati dan bisa juga bandar dimiskinkan.
Kita tidak main-main, dengan menggunakan UU tindak pidana pencucian uang, harta yang diperoleh dari hasil kejahatan narkoba bisa disita negara kalau bisa dibuktikan dalam persidangan merupakan hasil dari kejahatan narkotika.
Kedua dengan soft power. Banyak yang belum paham, BNN hadir melindungi masyarakat juga dengan cara mendekati mereka yang belum terpapar narkoba dan yang sudah terlanjur kena narkoba melalui edukasi.
Kita lakukan edukasi secara langsung tatap muka, maupun melalui media komunikasi atau media sosial.
Mengedukasi kenapa lewat media sosial ? Karena dari data yang ada di kami, korban penyalahgunaan narkoba lebih dari 50 persen berada di rentang usia 15-30 tahun.
Atau mayoritas usia milenial. Mereka kan suka dengan media sosial. Sifat mereka juga suka coba-coba hal baru.
Kita edukasi melalui visual lewat media sosial. Program edukasi ini penting.
Salah-satunya untuk memberitahu bahwa korban penyalahgunaan narkoba bisa datang sukarela ke BNN dan tidak ditangkap, justru akan direhabilitasi gratis dengan dibiayai negara dan privasinya dijamin.
Kalau kita menekan suplai narkoba, kita sasar pengedarnya, bandarnya.
Tapi, di sisi lain kan ada juga demand atau kebutuhan, itu harus ditekan juga. Kita menangkap orang di sisi suplai, tapi kalau korban penyalahgunaan belum direhab ya tetap akan memakai.
Oleh karena itu, kita mengajak masyarakat Bali, siapapun yang ada di keluarga atau lingkungannya menjadi pengguna, jangan dikucilkan dia.
Antar ke BNNP, nanti akan dilakukan asesmen dan rehabilitasi. Tetapi, lain cerita kalau saat memakai, mereka ditangkap oleh petugas. Ya pasti akan melalui proses hukum.
Lantas apa pendekatan ketiga?
Pendekatan ketiga adalah smart power. Yakni, dalam mengungkap jaringan kasus kejahatan narkotika, BNN mengikuti dan memanfaatkan teknologi.
Pasalnya, kejahatan peredaran narkoba kini sudah merambah ke ruang digital, melalui media sosial.
Di sini kita harus selangkah lebih maju, tidak boleh ketinggalan teknologi, harus sejalan dengan kemajuan teknologi artificial intelligence, big data, kita harus ikuti.
Pendekatan kepada generasi milenial, salah satunya dengan mengenali kebiasaan dan gaya hidup mereka.
Seperti apa tren penyalahgunaan narkoba di masa pandemi Covid-19, khususnya di Bali, yang Anda ketahui?
Ada sesuatu yang berubah sebagai akibat dari pandemi terhadap pengguna narkoba. Beberapa bulan terakhir ini saya mengindikasikan banyak sekali kasus narkoba yang terkait dengan dampak pandemi.
Pada masa pandemi petugas mengungkap, antara lain kasus seniman, pemusik yang dulu biasanya sebagai pengguna kini jadi pengedar pula.
Dulu sebelum pandemi, mereka masih memiliki pekerjaan karena pariwisata berkembang. Mereka mendapatkan penghasilan dari bermain musik atau berkesenian, misalnya di tempat-tempat hiburan dan lain-lain.
Saat itu sebagai pengguna, mereka memenuhi kebutuhannya akan narkotika, khususnya ganja, dengan membeli barang itu pakai penghasilannya dari bermain musik.
Sekarang pariwisata merosot akibat pandemi, dan mereka tidak memiliki pekerjaan lagi karena banyak tempat hiburan yang tidak beroperasi.
Karena itu, mereka tak lagi memiliki penghasilan. Namun karena sudah ketergantungan narkotika, mereka masih pakai. Karena tidak ada duit lagi untuk beli narkotika, akhirnya mereka yang awalnya cuma pengguna, saat pandemi ini mereka berubah sebagai pengedar.(adrian amurwonegoro/bersambung)
Baca juga: Ini Pengalaman Anak Blasteran Bule – Jawa, Sarat dengann Tragikomedi