Laporan Wartawan Tribunnews.com, Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM – Aroma khas lilin malam langsung menyapa saat memasuki sebuah industri batik rumahan di Kawasan Kampung Batik Laweyan, Solo.
Tampak perajin batik asyik menorehkan canting pada lembaran - lembaran kain.
Rupa motif-motif batik yakni Sidomukti, Truntum, hingga Kawung pun samar terlihat.
Ya, aktivitas-aktivitas itu memang sudah berlangsung puluhan tahun silam, memang batik dan Solo merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan.
Selama berpuluh-puluh tahun, batik telah menjadi napas dan sumber mata pencaharian bagi sebagian masyarakat di Surakarta.
Seperti halnya di Kawasan Laweyan ini, pesona batik banyak tersaji di setiap sudut jalanan, hingga rumah-rumah warga.
Baca juga: SOSOK Go Tik Swan Ada di Google Doodle Hari Ini, Keturunan Tionghoa, sang Pelopor Batik Indonesia
Baca juga: Buka Munas APKASI 2021, Jokowi Ingatkan Bupati Pandemi Covid-19 Belum Berakhir
Sebelum adanya Pandemi Covid-19, hilir mudik wisatawan ramai terlihat di kawasan tersebut.
Tak dipungkiri, kini pandemi menjadi tantangan serius bagi para perajin batik di sana.
“Masa pandemi covid-19 membuat perdagangan batik rontok,” ujar Alpha Fabela Priyatmono Koordinator Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL), kepada Tribunnews.com, (14/6/2021).
Alpha mengatakan data dari Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) bahwa penurunan penjualan batik itu sampai 75 persen.
“Sedangkan untuk di Laweyan sendiri penurunan penjualan batik selama pandemi mencapai 80 persen, lantaran memang aktivitas industri hingga wisatawan banyak yang berkurang,” lanjutnya.
Tetap Jaga Eksistensi
Namun memang seiring berjalannya waktu, semangat kreativitas kembali terkumpul, indutri batik merangkak perlahan dan kembali aktif.
Bahkan ada beberapa rumah industri batik di Laweyan yang mulai mengekspor produk batiknya.
“Untuk pasar langsung dari teman-teman itu ke Amerika, sedangkan kalau ke Eropa lewat Bali,” ujar Alpha.
Alpha menyebut, sebelumnya FPKBL sempat dimintai masukkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta untuk fokus kebangkitan ekonomi kota berbasis budaya.
Alpha mengatakan pada waktu itu dirinya memberikan saran terkait digitalisasi pemasaran produk batik.
“Memang selama ini untuk pengusaha-pengusaha kecil kelas mikro itu sedikit kurang konsentrasi pada konteks digitalisasi, selama ini mereka masih mengandalkan penjualan offline, juga kunjungan wisatawan.”
Baca juga: Saat Peringatan HUT Apkasi ke-21, Jokowi Minta Bupati Terus Jaga Kesehatan Masyarakat
“Hingga kini adanya Pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk memperkuat pemasaran secara online, tentu ini tantangan tersendiri,” lanjut Owner Batik Mahkota Laweyan tersebut.
Maka dari itu dirinya mengusulkan agar Pemkot Solo memberi dukungan terbentuknya IT and digital Center di tiap-tiap kawasan industri kreatif.
Walaupun memang selama ini sudah ada komunitas digital di Sentral Industri Kreatif Semanggi Harmoni.
“Maksud saya itu kalau di sana (Sentral Industri Kreatif Semanggi Harmoni ) menjadi pusatnya, nah yang di kawasan-kawasan industri kreatif ini menjadi kepanjangan tangannya,” katanya.
Asa Bagi Kaum Disabilitas
Pemasaran secara digital satu di antarannya gigih dilakukan oleh para perajin batik yang menamakan diri mereka Batik Toeli.
Singkat cerita Batik Toeli dibentuk oleh CV Mahkota Laweyan sejak awal pandemi tahun lalu.
Alpha mengatakan awal mula dirinya memiliki pegawai seorang tunarungu yang berprofesi sebagai perajin batik.
“Kemudian datanglah 3 rekan dari pegawai saya, mereka rupanya menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dari situlah muncul gagasan Batik Toeli ini,” kata Alpha.
Alpha menekankan bukan melulu soal profit semata, melalui Batik Toeli menjadi sarana pemberdayaan.
Kini 4 perajin batik penyandang disabilitas tersebut terus mengasah kemampuan, sesekali mereka juga menyumbangkan ide kreatif.
Baca juga: Leeteuk dan Yesung Super Junior Pamer Batik Rancangan Gubernur Jabar: Terimakasih Ridwan Kamil
"Esensinya Tuhan menciptakan kekurangan pada manusia diiringi dengan kelebihan yang dimilikinya, walaupun berkebutuhan khusus namun skill dapat ditingkatkan," ujar Alpha.
Hingga kini Batik Toeli banyak mengerjakan produk-produk fesyen batik, di antaranya kemeja, outer, tas, masker, dan masih banyak lagi.
Dan mengikuti arus pemasaran produk selama pandemi, Alpha mengaku produk karya perajin Batik Toeli bukan hanya dipasarkan lewat offline saja namun juga secara online.
Batik Toeli pun juga menjadi rujukan berbagai edukasi, beberapa kali mereka menerima kunjungan baik dari sekolah, hingga wisatawan asing.
“Terakhir kemarin kami dapat kunjungan dari pelajar dari Nusa Tenggara Timur (NTT), kami belajar Bersama, berbagi bersama,” tutur Alpha.
Pasar Klewer Berusaha Tak Limpung
Pagebluk Covid-19 memang menjadi tantangan banyak sektor, bukan hanya industri batik rumahan, namun juga bagi pasar tekstil terbesar di Surakarta, Pasar Klewer.
Pantauan Tribunnews.com di lapangan, Jumat (25/6/2021) suasana pasar masih aktif saat sore hari, sekira pukul 15.00 WIB.
Lipatan kain batik, piyama batik, kemeja resmi, bahkan aksesoris lainnya tersusun dan terpajang rapi.
Beberapa pembeli hikir mudik menenteng belanjaan mereka, ada yang menggunalan plastik, tote bag, bahkan koper.
Salah seorang pedagang Nila (45), pemilik batik Nola Mulia Los B 20 Pasar Klewer berbincang dengan Tribunnews, menceritakan jerih payahnya ahar tak limping dihantam pandemi.
Memang omset penjualan pedagang batik di sana turun drastis.
Baca juga: Apkasi Berharap Sandiaga Juga Perhatikan Pariwisata Non-Destinasi Prioritas
Mereka mengalami sepi orderan akibat banyak warga memilih mengencangkan ikat pinggangnya.
“Penjualan turun drastis bahkan lebih dari 50 persen, biasanya orang kulakan barang sekarang sepi, wisatawan pun sepi, kondisi ini memang membuat kompleks,” katanya kepada Tribunnews, Jumat (25/6/2021).
Ia mengaku walaupun dihantam pagebluk corona pedagang Pasar Klewer memang berusaha tak lesu dan tak limpung.
Penjualan offline dan online kini dijalankan bersamaan.
Beberapa pembeli eceran dari luar kota pun kata Nila, lumaya memberikan kelegaan.
“Kondisi ini memang kompleks, harapannya pandemi segera berlalu, sehingga industri kreatif kembali eksis,” lanjutnya.
Koperasi Batik Batari
Demi memperpanjang napas usaha di masa pandemi ini, para pelaku usaha batik ini kemudian memanfaatkan banyak peluang yang ada.
Termasuk yang dilakukan oleh Koperasi Batik Batik Timur Asli Republik Indonesia (Batari).
Seperti diketahui saat ini total anggota 210 orang, sedangkan yang masih aktif bergerak di industri batik dan tekstil dan produk tekstil (TPT]) kurang dari 5 persen.
Ketua Koperasi Batik Batari Solichul Hadi Achmad Bakri, mengatakan Covid-19 adalah krisis kesehatan dan ekonomi terbesar dalam sejarah modern.
Baginya krisis yang mengikuti juga menyoroti ketidaksiapan pemerintah dan pemilik bisnis dalam menghadapi krisis dengan skala sebesar ini.
“Besaran pasti dari dampak tersebut masih belum diketahui meskipun akademisi dan para ahli telah mengisyaratkan bahwa dampak dari krisis ini akan berlangsung lama tanpa ada yang bisa memprediksi kapan, bagaimana, dan apakah kita bisa keluar dari krisis ini atau apakah kita harus berdamai dengan fakta bahwa Covid-19 akan tetap ada,” katanya kepada Tribunnews, Jumat (25/6/2021).
Baca juga: Apkasi Salurkan Seribu APD ke 10 Kabupaten Terdampak Covid-19
Jika demikian, itu juga berarti masih ada langkah-langkah yang akan mengubah cara orang berinteraksi satu sama lain, sehingga perubahan dalam cara bisnis dijalankan.
Pihaknya mengatakan yang dilakukannya sekarang ini adalah diversifikasi usaha meski nomenklatur aslinya adalah koperasi batik.
Solichul menyebut banyak usaha-usaha yang pernah ditempuh Koperasi Batik Batari sehingga membuat bertahan.
Termasuk bisnis utama Koperasi Batik Batari saat ini adalah bisnis event venue beserta persewaan peralatan event.
Kabar baiknya saat ini Koperasi Batari telah memulai kembali bisnis venue acara dengan protokol kesehatan yang ketat.
Diketahui pada bulan Maret dan April 2019, Batari mencatatkan pendapatan masing-masing sebesar Rp 110 Juta dan Rp 95 Juta dari bisnis event terkait dengan biaya operasional rata-rata sebesar Rp 37 Juta per bulan.
Bulan Maret dan April tahun 2020 lalu tidak ada pendapatan dari bisnis ini sementara biaya operasional tetap di level tahun lalu.
“Namun memang dalam arti 'kenormalan baru' tanpa harus berhenti beroperasi sama sekali, dalam artian memberi waktu bagi para pelaku bisnis untuk tangguh beradaptasi dan berinovasi dengan situasi saat ini,” lanjutnya.
Pihaknya melanjutkan ketahanan dan inovasi ini, jika dipasangkan dengan jaringan bisnis semi mandiri yang dapat bertindak sebagai jaring pengaman ekonomi satu sama lain dengan cara menyediakan pasokan dan permintaan.
Juga akses cepat ke arus kas (dalam bentuk pinjaman), dan dengan waktu yang dipersenjatai dengan kemampuan untuk bertindak sebagai kekuatan kolektif akan memastikan umur panjang setiap pihak dalam jaringan.
Umur panjang ini mengacu pada kemampuan untuk bertahan hidup bahkan di saat krisis ekonomi besar seperti saat ini.
“Jejaring ini adalah contoh dari operasi terkait komunitas lokal yang meskipun masing-masing unit memiliki agenda dan kepentingan sendiri, secara kolektif unit-unit ini dapat bertindak sebagai unit yang lebih besar untuk daya tawar yang lebih kuat dan sumber daya bersama yang lebih besar, terutama di masa krisis seperti saat ini,” tutupnya.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)