Ia pun masih bisa berinteraksi ketika bertemu dengan petani yang kebunnya berada di pinggir hutan.
Atau warga yang sedang pergi ke hutan dan melintasi rumahnya.
Kepada mereka pula, ia kerap meminta bantuan. Ada berbagai kebutuhan yang tak mungkin ia penuhi sendiri.
Untuk mencukupi kebutuhan dapur misalnya, ia menitip belanja kepada warga atau petani yang biasa ke kebun dekat rumahnya atau hutan.
Untuk mengantisipasi jika sewaktu -waktu sakit, keluarganya menyetok obat-obatan di rumah.
Maklum, jangankan ke fasilitas kesehatan, untuk menjangkau pemukiman warga saja ia harus turun jauh dan butuh perjuangan.
"Biasanya saya pesan kebutuhan (belanja) ke warung di desa, lalu dititipkan orang yang mau ke kebun atau hutan, " katanya.
Meski tak memiliki tetangga, Peni merasa bahagia tinggal di hutan yang jauh dari keramaian. Ia bisa tiap hari menghirup udara sejuk pegunungan.
Jelas anugerah itu sulit didapat ketika ia tinggal di kota yang penuh polusi udara.
Ia juga merasakan damai dan tenang karena tak pernah mendengar kegaduhan dan suara-suara negatif dari luar.
Alhasil, bukan hanya fisiknya terpelihara. Kesehatan jiwanya pun terjaga.
Karena tak memiliki tetangga, ia bisa terhindar dari prasangka (gibah) karena membicarakan keburukan tetangga.
Karena kedamaian yang dirasakan, Peni tak berpikir untuk "turun gunung" lagi dengan tinggal di perumahan seperti warga umumnya.
"Di sini tenang, bisa mengurangi pikiran negatif. Pikirannya bening. Tidak pernah mendengar suara-suara (negatif). Karena pikirannya positif, tidak gampang emosi, tidak cepat darah tinggi, " katanya. (khoirul muzaki)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Putuskan Tinggal di Tengah Hutan, Alasan Pasangan Suami Istri asal Banjarnegara ini Bikin Merinding