TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA -- Tak seperti masyarakat biasanya yang memilihi hidup bertetangga, sepasang suami istri (pasutri) di Banjarnegara , Jawa Tengah ini memilih hidup menyendiri di hutan.
Pasutri di Desa Prigi Kecamatan Sigaluh, Banjarnegara, Edi Suharto dan Peni.
Mereka yang telah berusia senja memilih menghabiskan sisa umur di tengah hutan.
Sebuah rumah kayu berdiri kokoh di atas hamparan tanah hutan, Desa Prigi Kecamatan Sigaluh, Banjarnegara.
Di atas rumah itu adalah hutan lindung yang jarang dijamah warga.
Baca juga: Hutan Lebat Hingga Tebing Curam Hambat Helikopter Caracal TNI Evakuasi 2 Jenazah Teroris Poso
Akses menuju rumah itu jelas bukan jalan pemerintah, melainkan jalan setapak untuk lalu lintas petani ke kebun atau hutan.
Butuh perjuangan keras untuk mencapai rumah itu. Jalannya masih berbatu, banyak tanjakan dan kelokan tajam. Pastinya, tidak semua pengendara punya nyali untuk melintasinya.
Hawa sejuk langsung terasa saat menapaki halaman rumah tua itu. Sunyi langsung menghampiri. Keheningan menyambut. Tidak terdengar suara warga bergema.
Yang ada, di dalam rumah itu, seorang wanita tua tengah sibuk dengan kesendiriannya.
Ia jarang memiliki lawan bicara.
Baca juga: Pria Pencari Ikan di Sumbar Ditemukan Tewas dalam Hutan, Diduga Korban Keganasan Hewan Buas
Kecuali dengan suami yang saat itu belum pulang bekerja.
"Suami masih di kebun, " katanya, Selasa (13/7/2021)
Pasangan itu bukannya warga pedalaman atau orang primitif yang menolak moderninisasi.
Mereka punya alasan tersendiri hingga memutuskan tinggal menjauh dari pemukiman.
Peni sendiri adalah pensiunan pegawai di sebuah sekolah di Kabupaten Banjarnegara.
Ia juga pernah tinggal sangat lama di tengah pemukiman, seperti warga pada umumnya.
Hingga memasuki masa tua, mereka memilih tinggal di hutan.
Rumah itu ternyata bukan rumah yang baru didirikan. Di dalamnya tersimpan banyak kenangan.
Baca juga: Pamitnya ke Hutan Berburu Burung di Hutan Kubu Raya, Yusri sudah 6 Hari Tak Pulang
Rumah tua itu merupakan peninggalan eyang Sutejo, orang tua mereka yang dulu pernah bekerja di perkebunan milik Belanda.
"Orang tua dulu bekerja di perkebunan tebu. Buat rumah di sini, " katanya
Peni merasa sayang jika rumah bersejarah itu telantarkan.
Hingga ia dan suaminya memutuskan menempatinya, meski dengan konsekuensi yang menantang.
Tidak ada jaringan listrik PLN yang sampai ke rumah di hutan itu.
Alhasil rumah itu diterangi oleh listrik yang dihasilkan dari kincir air buatan.
Mereka juga harus ikhlas jauh dari fasilitas umum atau kantor pemerintahan.
Mereka juga harus jauh dari toko atau warung yang menyediakan berbagai kebutuhan.
"Di sini kan rumahnya kosong, ngapain tidak ditinggali. Juga sudah tua, ingin mengurangi kegiatan-kegiatan yang banyak negatif, " katanya
Meski tinggal sendiri di hutan, Peni merasa tak pernah kesepian. Sanak famili serta anaknya kerap menengoknya.
Ia pun masih bisa berinteraksi ketika bertemu dengan petani yang kebunnya berada di pinggir hutan.
Atau warga yang sedang pergi ke hutan dan melintasi rumahnya.
Kepada mereka pula, ia kerap meminta bantuan. Ada berbagai kebutuhan yang tak mungkin ia penuhi sendiri.
Untuk mencukupi kebutuhan dapur misalnya, ia menitip belanja kepada warga atau petani yang biasa ke kebun dekat rumahnya atau hutan.
Untuk mengantisipasi jika sewaktu -waktu sakit, keluarganya menyetok obat-obatan di rumah.
Maklum, jangankan ke fasilitas kesehatan, untuk menjangkau pemukiman warga saja ia harus turun jauh dan butuh perjuangan.
"Biasanya saya pesan kebutuhan (belanja) ke warung di desa, lalu dititipkan orang yang mau ke kebun atau hutan, " katanya.
Meski tak memiliki tetangga, Peni merasa bahagia tinggal di hutan yang jauh dari keramaian. Ia bisa tiap hari menghirup udara sejuk pegunungan.
Jelas anugerah itu sulit didapat ketika ia tinggal di kota yang penuh polusi udara.
Ia juga merasakan damai dan tenang karena tak pernah mendengar kegaduhan dan suara-suara negatif dari luar.
Alhasil, bukan hanya fisiknya terpelihara. Kesehatan jiwanya pun terjaga.
Karena tak memiliki tetangga, ia bisa terhindar dari prasangka (gibah) karena membicarakan keburukan tetangga.
Karena kedamaian yang dirasakan, Peni tak berpikir untuk "turun gunung" lagi dengan tinggal di perumahan seperti warga umumnya.
"Di sini tenang, bisa mengurangi pikiran negatif. Pikirannya bening. Tidak pernah mendengar suara-suara (negatif). Karena pikirannya positif, tidak gampang emosi, tidak cepat darah tinggi, " katanya. (khoirul muzaki)
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Putuskan Tinggal di Tengah Hutan, Alasan Pasangan Suami Istri asal Banjarnegara ini Bikin Merinding