TRIBUNNEWS.COM, MINAHASA - Tugu Pers Mendur yang berdiri di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Februari 2013.
Tugu Pers Mendur ini didirikan untuk mengenang jasa-jasa Mendur bersaudara yang telah berhasil mengabadikan foto Proklamasi 1945 dan berbagai foto perjuangan lainnya.
Di dalam kompleks Tugu Pers tersebut terdapat bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu yang kondisinya saat ini sangat memprihatinkan karena sudah mulai dimakan rayap disana-sini.
"Tiang penyangga bangunan utama sudah rapuh dimakan rayap, dan kami membutuhkan biaya untuk renovasi," ungkap pengelola Tugu Pers Mendur bernama Pierre Mendur, Selasa (7/9/2021).
Di dalam rumah panggung tersebut dikatakan Pierre Mendur, terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara.
Foto-foto tersebut bercerita tentang masa awal Indonesia merdeka. Beberapa di antaranya adalah foto suasana perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda, perang gerilya Panglima Besar Soedirman, foto kabinet di bawah kepemimpinan Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia.
Dikatakannya, selain 113 foto ada juga beberapa kamera milik Alex dan Frans Mendur yang tersimpan di Tugu pers Mendur.
Salah satunya kamera yang di pakai oleh Alex Mendur pada saat menjemput Panglima Besar Jendral Sudirman dari hutan menuju Istana negara di Yogyakarta.
"Salah satu hasil karya Frans Soemarto Mendur yang sampai saat ini beredar dan terpajang dimana-mana adalah foto peristiwa detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945," kata Pierre Mendur.
Dikisahkan, sehari menjelang Proklamasi, Frans Mendur mendengar kabar dari rekannya, seorang wartawan Jepang, bahwa keesokan hari akan dilakukan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Soekarno. Frans sempat tak percaya, namun, sejak pukul 05.00, ia sudah berangkat berbekal kamera bermerek Leica, kamera yang menemaninya sehari-hari sebagai wartawan.
Ketika tiba di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Frans melihat puluhan pemuda Indonesia berjaga-jaga. Di tempat itu ia melihat tokoh Indonesia yang tak hanya dari Jakarta saja, tetapi juga dari daerah, berkumpul.
Frans juga melihat Bung Karno dan Bung Hatta tengah berunding dengan sejumlah tokoh itu di satu ruangan.
Sekitar 10 menit sebelum pukul 10.00 bergemuruh teriakan Hidup Indonesia! dan Indonesia Merdeka! Teriakan itu terjadi ketika Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh lain keluar rumah menuju halaman depan.
Sejurus kemudian terdengar aba-aba agar hadirin siap tegak berdiri. Tak lama kemudian, Bung Karno mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Usai pembacaan teks proklamasi oleh Bung Karno, pecahlah pekik Merdeka! berulang-ulang oleh hadirin sembari mengepalkan tangan ke udara. Sulit dilukiskan perasaan orang yang ada ketika itu.
Sebagian tampak menitikkan air mata. Frans, yang turut larut emosinya, nyaris lupa menjepretkan kamera. Namun, akhirnya dia sempat mengabadikan pengibaran Bendera Merah Putih yang sudah mencapai ujung tiang bendera.
Frans Soemarto Mendur saat menjadi saksi sejarah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah sebagai wartawan harian Asia Raya. Kesaksiannya itu dimuat di sebuah koran yang tidak tertera nama dan edisi terbitnya.
Salinan dari tulisan itu dipajang di dalam ruangan rumah panggung yang dijadikan museum di Tugu Pers Mendur.
Tanpa peran Frans Mendur mungkin kita dan generasi setelah peristiwa bersejarah kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat menyaksikan foto detik-detik proklamasi.
Selain Frans, pada saat peristiwa Proklamsi Kemerdekaan Indonesia ada wartawan foto lainnya, yaitu Alex Impurung Mendur, yang tak lain adalah kakaknya. Hanya saja kamera Alex dirampas tentara Jepang dan dimusnahkan. Ketika Frans selesai memotret peristiwa bersejarah itu, dia juga dikejar tentara Jepang yang menginginkan kameranya.
Namun Frans berhasil menguburkan rol film hasil jepretannya ke dalam tanah di halaman belakang kantor Asia Raya.
Saat tertangkap Jepang, Frans mengaku hasil jepretannya sudah dirampas Barisan Pelopor.
Meski demikian, hasil bidikan kamera Frans ternyata baru bisa diterbitkan enam bulan kemudian, tepatnya pada 20 Februari 1946 di halaman pertama Harian Merdeka.
Cetakan foto bersejarah, entah yang keberapa kali sudah, itu abadi sampai kini. Murid-murid sekolah yang tengah belajar sejarah bisa menyaksikan detik-detik saat Bung Karno membaca teks proklamasi didampingi Bung Hatta serta pengibaran Sang Saka Merah Putih, lewat jepretan kamera Frans.
Praktisi media, Dar Edi Yoga mengakui bahwa hingga saat ini Mendur bersaudara belum juga diangkat sebagai pahlawan nasional, padahal mereka layak mendapatkan anugerah itu. Dan museum Tugu Pers Mendur perlu uluran tangan dari pemerintah untuk segera direnovasi.
"Peran Mendur bersaudara tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan republik ini dengan mempertaruhkan nyawa. Mereka mengabadikan berbagai peristiwa penting sebelum dan setelah kemerdekaan. Untuk itu sudah pantas kiranya jika mereka dianugerahi sebagai pahlawan nasional," tutur Dar Edi Yoga.