Tidak hanya dua dokter psikiater.
"Kami menduga ada upaya deligitimasi pelapor dengan memeriksakannya ke sikiater," terangnya.
4. Proses Penyelidikan Terburu-buru
"Kalau penyidik mengatakan tidak cukup alat bukti, ya, karena memang prosesnya sangat cepat, tidak digali baik-baik," kata Tiwi.
Semestinya, lanjut Tiwi, penyidik harus membuka perkara itu secara terang benderang yaitu dengan mengali bukti sedalam mungkin, dan juga memeriksa saksi lain.
"Kami juga sudah memasukkan dokumen-dokumen argumentasi kami di Polda Sulsel pada bulan Maret 2020," tegas Tiwi.
Ia pun menganggap kasus itu sudah layak dibuka kembali untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
5. Sikap Polda Sulsel dan Polri
Tiwi menyayangkan sikap Polda Sulsel yang turut mengaminkan SP3 yang berdasar pada hasil assesmen P2TP2A Luwu Timur yang dinilai kurang objektif.
Pihaknya, pun melanjutkan kasus itu ke Mabes Polri namun respon yang sama ditemui.
"Setelah penghentian penyelidikan diaminkan oleh Polda Sulsel, kami minta Polri melanjutkan proses penyelidikan tapi tidak merespon sama sekali," beber Tiwi.
Laporkan ke Komnas Perempuan, Komnas HAM hingga Kemen PPA.
Melihat respon Polri yang tidak kunjung membuka kasus itu kembali, LBH Makassar pun melaporkan ke beberapa lembaga terkait, seperti, Komnas Perempuan, Komnas HAM dan Kemen PPA.
"Nah, kemarin ada rekomendasi dari Komnas Perempuan untuk melanjutkan kasus ini tapi tidak juga ditindaklanjuti oleh Polri," tuturnya.