TRIBUNNEWS.COM - Bencoolen, baca Benkulen merupakan sebutan penjajah Inggris dan Belanda untuk Bengkulu.
Belakangan, sebutan Bencoolen happening lagi untuk wilayah yang terletak di Pulau Sumatera ini.
Jelang peluncuran TribunBengkulu.com, kami menyajikan series tulisan potensi Provinsi Bengkulu, mulai dari sumberdaya alam, kearifan lokal, wisata alam, pantai dan sejarah menarik.
Tribun Network akan hadir secara penuh di wilayah patahan gempa bumi yang paling aktif di dunia ini. Sebentar lagi jalan tol bagian dari TranSumatera akan membuka Bengkulu.
"Jika saja Inggris tak menukar guling Bengkulu dengan Singapura, mungkin kami sekarang bagian dari Commonwealth," kata Juliandono, warga Bengkulu. Kalimat itulah yang sering diucapkan warga Bengkulu pada pendatang untuk membuka cerita tentang sejarah Bengkulu. "Lebih banyak peninggalan Inggris di sini ketimbang Belanda. Belanda cuma ekpolitasi saja tanpa membangun apa-apa."
Sebelum membahas keindahan pantai, kita mulai dari Benteng Marlborough yang terkenal itu. Inilah peninggalan kolonialisasi Inggris di Bengkulu selama 140 tahun yang masih berdiri tegak dan sangat terawat.
Ceritanya, pada abad ke-17 tepatnya 1685, British East India Companyi (EIC) alias John Company, VOC-nya Inggris, diberikan izin untuk mendirikan benteng di Bengkulu. VOC yang menguasai monopoli Banten mengusir EIC dari sana. Padahal saat itu perdagangan lada sedang bagus-bagusnya.
Mula-mula dibangunlah Benteng York, di antara laut dan Muara Sungai Serut, kini Sungai Bengkulu. Belakang benteng itu ternyata tak representatif. "Orang-orang Inggris tak nyaman tinggal di benteng itu. Dekat muara jadi nyamuknya begitu banyak, termasuk malaria," kata Yosan, petugas di Benteng Malborough yang diwawancarai Tribun awal pekan ini. Posisi Benteng York itu tak tepat.
Lalu pada tahun 1714 dimulailah pembangunan Fort Marlborough atas usulan dari Joseph Collett, Gubernur Jenderal IEC di Bengkulu kala itu. Posisi Fort Marlborough lebih menjorok ke daratan, di atas tebing. "Kini Fort York sudah tak bersisa," kata Yosan.
Sekarang kita beralih ke masa ke kinian. Berwisata melihat kemegahan benteng Inggris kedua terbesar di Asia ini. Kini perawatan situs diambil alih oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. "Tapi PAD-nya masuk ke Kota Bengkulu," kata Yosan berseloroh.
Komplek Benteng Marlborough bersih. Pagi awal pekan itu, para pekerja sedang sibuk memotong hamparan rumput di sekitar komplek. Masih sama seperti gamabaran foto-foto di masa kolonialisasi.
Pengunjung masuk dari gerbang di seberang Pasar Baru Koto. Ada tour guide yang mengampiri dan menawarkan jasa, tapi tak memaksa. Berjalan menanjak lalu disambut jembatan ke pintu benteng. Benteng ini dikelilingi parit dangkal tak berair. Kini seluruh hamparan parit dan tanah di komplek itu berumput rapi. Karcis masuknya Rp 5.000.
Sudah memasuki dinding benteng, tapi sebelum masuk ke komplek utama, kita disambut tiga pusara bernama di bagian kepala kura-kura. Pusara dari Charles Murray, Thomas Parr dan Robert Hamilton. Ketiganya merupakan serdadu IEC yang gugur di Bengkulu. Bahkan Thomas Parr dibangunkan monumen tak jauh dari Fort Malborough, di posisi tempatnya terbunuh.
Diorama, replika, material pajangan dan narasi lengkap berserta foto disajikan di ruang-ruang pameran di benteng ini. Membuat keputusan tak menyewa tour guide menjadi terasa benar. Pengunjung bisa dengan leluasa menyusuri tiap sudut benteng sampai ke puncak-puncak meriam.
Masuk ke komplek utama melewati jembatan lagi. Di komplek utama sebelah timur bagian depan, yang dulunya merupakan kamar pembesar kini dijadikan ruang pameran yang bercerita tentang ikhwal kolonialisasi di Bengkulu juga sejarah Marlborough.
Kita kembali ke tahun-tahun saat tukar guling Inggris dan Belanda tahun 1824. Lewat Trakat London, Britania dan Belanda bersepakat menukar wilayah. Saat itu Sir Thomas Rafles adalah gubernur koloni Inggris di Bengkulu. Singkatnya, salah satu kesepakatan antara Britania dan Belanda adalah Britania menyerahkan Bengkulu ke Belanda, sementara Belanda menyerahkan Singapura ke Inggris. Tukar guling Bengkulu-Singapura.
Ceritanya, Belanda mengambil perjanjian ini karena tahu ada sumber emas melimpah di Bengkulu. Sejak berkuasa di Bengkulu, Belanda tak menjadikan wilayah pesisir ini sebagai pusat penyuplai rempah, tapi daerah eksploitasi tambang emas. "Sangking banyaknya emas dari Bengkulu, sekitar 24 kilogram emas Monas itu dari tambang di Lebong, Bengkulu," kata Yosan.
Tak lama berkuasa di Bengkulu, pecahlah Perang Diponegoro. Selain mengekspoitasi emas, Belanda menjadikan wilayah Bengkulu sebagai tempat buangan politik. Sentot Alibasah, panglima Pangeran Diponogoro dibuang ke sini setelah perang usai. Pusaranya ada di Bengkulu.
Di ruang sisi depan barat benteng juga dijadikan ruang pameran. Dindingnya sangat tebal. Di sini diceritakan tentang sejarah tanam paksa di Bengkulu yang dimulai sejak tahun 1833. Sejak pendudukan Inggris kerap terjadi perlawanan rakyat, di masa penjajahan Belanda juga serupa.
Halaman tengah benteng berjejer meriam-meriam. Meriam itu menghadap ke sisi barat benteng Samudra Indonesia. Tak ada ruangan di bagian barat itu. Peluru-peluru dari meriam itu bisa langsung menghantam penyerbu yang datang dari barat.
Sementara di sisi timurnya adalah bangsal prajurit. Bangsal itu masih lengkap dengan besi teralis bak ruang penahanan, kini diubah menjadi ruang pameran juga. Di sini di pajang material-material dari benteng mulai dari bata, kayu sampai pakunya. Material pajangan asli.
Di sini ada diorama Soekarno. Soekarno tampak menyusun tiga buah batu. Alkisah Soekarno pernah dipanggil oleh penguasa benteng Marlborough kala itu, Cornelis Eduard Maie pada Mei 1940.
Dari bIografi Soekarno yang ditulis Cindy Adam, tahun itu Hitler menaklukkan Belanda. Orang-orang di Benteng Malborough muram. Cornelis Eduard Maie lalu memanggil Soekarno di sana. Maie tahu Soekarno berlatar belakang Arsitek.
"Insinyur Soekarno, mereka berkata, kami ingin memperingati peristiwa yang tidak menyenangkan ini. Sebagai satu-satunya seniman di Bengkulu, anda ditunjuk untuk membangun tugu peringatan," kata Maie.
Soekarno menjawab, "maksud Anda, setelah menghukumku karena menghendaki kemerdekaan untuk rakyatku tiba-tiba sekarang anda meminta kepadaku, tahanan Anda membuat sebuah tugu karena bangsa lain merebut kemerdekaan negeri Anda?
Soekarno melanjutkan, " meski aku ingin memuaskan selera seniku apa yang kulakukan hanyalah menumpukkan tiga buah batu, yang satu di atas yang lain. Dan itulah yang kukerjakan."
Soekarno di buang di Bengkulu sampai pendudukan Jepang. Rumah pembuangannya tak jauh dari Benteng ini. Pada series berikutnya, masih di edisi wisata, kita akan mengunjungi rumah itu.
Di belakangnya ada sumur jernih dengan timba katrol tua. Mitosnya mencuci muka dengan air sumur itu membuat awet muda. Entah mitos itu dimulai dari siapa. Masih dipercaya, bahkan oleh anak-anak muda Bencoolen. (Tribun Bengkulu/Prawira Maulana)