TRIBUNNEWS.COM - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan kasus yang menjerat Bripda Randy Bagus akan dipantau langsung proses hukumnya oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
"Propam Polri lakukan quality control bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari sisi Propam kaitannya dengan sidang," kata Dedi dilansir Kompas.com, Senin (6/12/2021).
Diketahui sebelumnya Bripda Randy diduga telah menghamili seorang mahasiswi di Mojokerto berinisial NW hingga dua kali.
Tak hanya itu, Bripda Randy juga meminta kekasihnya untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali juga.
Baca juga: Propam Awasi Penanganan Kasus Bripda Randy Soal Kasus Mahasiswi Tenggak Racun di Mojokerto
Akibatnya NW pun mengalami depresi hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun disamping makam ayahnya.
Dedi menegaskan bahwa Bripda Randy akan diproses hukum melalui Direktorat Kriminal Umum Polda Jatim.
Proses hukumnya juga akan dijalankan sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bripda Randy dan sesuai dengan norma yang berlaku.
Dedi pun tidak ingin nantinya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kasus ini.
Baca juga: Kesaksian Penjaga Makam Lihat Mahasiswi NWR sebelum Bunuh Diri: Setiap Hari Datang ke Makam Ayah
"Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, (harus) on the track semuanya," tegasnya.
Atas perbuatannya Bripda Randy akan menjalani dua proses hukum.
Yakni sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang akan dipantau langsung oleh Propam.
Serta proses pidana terkait kasus aborsi yang menimpa NW.
Baca juga: Fakta Baru Kasus Mahasiswi Bunuh Diri di Makam Ayah, Pernah Dilecehkan Senior dan Lapor ke Kampus
Meski demikian, Dedi tetap menekankan penerapan asas praduga tak bersalah kepada Bripda Randy.
"Ingat, kita asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi. Sebelum proses pengadilan itu menyatakan bersalah. Itu informasi yang harus diberikan ke masyarakat ya."
"Bapak Kapolri tegas dan tak boleh ragu-ragu kalau anggota terbukti bersalah, proses hukum," pungkasnya.
Baca juga: Bisakah Bripda Randy Dijerat Pasal Perkosaan Terkait Mahasiswi Tewas Bunuh Diri di Mojokerto?
Menteri PPPA Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Kekerasan Seksual yang Menimpa Mahasiswi di Malang
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, Menteri Bintang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga minta kasus kekerasan seksual yang menimpa NWR diusut tuntas oleh aparat kepolisian.
Menteri Bintang meminta kepada pihak berwajib dalam hal ini Propam Polda Jatim untuk mengusut tuntas kematian NWR dan memproses pelaku sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Karena penghapusan kekerasan terhadap perempuan menurutnya membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak.
Baik dari sisi pemerintah, maupun masyarakat secara umum termasuk aktivis HAM perempuan.
Baca juga: Sahroni Apresiasi Polri Cepat Tanggap Tangani Kasus Mahasiswi Tenggak Racun di Mojokerto
Ia juga mendorong RUU RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.
"Dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual Kemen PPPA terus mengawal dan mendorong agar kebijakan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan," ujarnya.
Ia menegaskan perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan pelaku, bertentangan dengan Pasal 354 KUHP terdiri dari ayat (1), dan ayat (2).
Pasal itu pada intinya mengatur bahwa jika penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.
Baca juga: Kemen PPPA Minta Kasus Mahasiswi NW Dituntaskan dan Pelaku Dihukum Tegas
Namun jika mengakibatkan kematian, maka diancam pidana penjara paling lama 15 tahun Jo Pasal 285 KUHP jo Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan").
"Setiap orang dilarang melakukan aborsi" Sanksi pidana bagi pelaku aborsi diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi : "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," ujarnya.
Menteri Bintang menyatakan ungkapan duka cita yang mendalam atas kasus yang menimpa almarhumah NWR, mahasiswi Universitas Brawijaya Malang.
Ia bisa membayangkan beban mental yang ditanggung oleh korban dan keluarganya.
Baca juga: UPDATE Kasus Meninggalnya Mahasiswi NW: Bripda Randy Dipecat, Teman dan Paman Korban Akan Diperiksa
"Sudah sepantasnya kita semua memberikan rasa empati yang besar pada korban dan keluarganya dan berpihak pada korban. Kami mendukung langkah cepat dari Bapak Kapolri dan semua jajarannya khususnya terhadap Kepolisian Daerah Jawa Timur dan berharap agar kasus ini dapat diselesaikan sesuai hukum yang berlaku," tegas Menteri Bintang.
Menteri Bintang menambahkan selama ini pihaknya di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) gencar menyuarakan dan menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kasus NRW ini menyadarkan dan memicu kita semua untuk lebih aktif melakukan pencegahan agar tidak timbul lagi korban.
Apalagi kasus yang menimpa almarhumah ini adalah bentuk Dating Violence atau Kekerasan Dalam Berpacaran, di mana kebanyakan korban.
Baca juga: Sederet Sanksi bagi Menwa UPN Veteran Jakarta, Buntut Tewasnya Mahasiswi saat Pembaretan di Bogor
Dimana setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM.
"Kekerasan dalam pacaran adalah suatu tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak dan berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan hak secara sewenang-wenang kepada seseorang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi," ujarnya.
"Kami juga berpesan kepada seluruh perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, kalian bisa melapor ke layanan dan penjangkauan korban di SAPA 129 atau bisa menghubungi Call Centre 08111-129-129 agar segera mendapatkan pertolongan,"ujar Menteri Bintang.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Larasati Dyah Utami)(Kompas.com/Nicholas Ryan Aditya)