TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan Polri tidak bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korban begal bunuh pembegal karena alasan bela diri di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia menyatakan bahwa SP3 hanya bisa diterbitkan jika tidak adanya unsur pidana di balik kasus tersebut.
Adapun kewenangan pembelaan korban nantinya harus dibuktikan di pengadilan.
"Polisi hanya bisa SP3 jika peristiwanya bukan pidana, alat buktinya kurang. Kalau pembelaan terpaksa itu ranah kewenangan pengadilan," kata Fickar saat dikonfirmasi, Sabtu (16/4/2022).
Dijelaskan Fickar, Polri memang mau tidak mau harus menetapkan korban begal sebagai tersangka karena adanya pembunuhan dalam peristiwa tersebut.
"Persoalannya ada orang mati dan matinya karena dibunuh. Dalam konteks itu korban begal diletakkan sebagai tersangka. Kalau matinya ketiban benda keras dan besar pasti tidak ada tersangkanya. Tapi karena ada orang mati maka hukum acara pidana dengan terpaksa menetapkan orang yang melakukan sebagai tersangka," jelas Fickar.
Baca juga: Soal Kasus Begal Amaq Sinta, Kabareskrim Minta Polda NTB Undang Tokoh Agama dalam Gelar Perkara
Namun demikian, kata Fickar, polisi diminta harus memasukan dalam Berita Acara Pidana (BAP) terkait argumen dan keterangan korban yang menyatakan bahwa pembunuhan itu terjadi dalam konteks pembelaan diri karena akan dirampok.
Hal itu termaktub dalam pasal 49 KUHP. Dalam beleid ayat 2 pasal tersebut berbunyi: "Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
"Kita menunggu apakah hakim akan menerapkan pasal 49 KUHP atau pasal lainnya," pungkasnya.