TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lakpesdam PCNU Boyolali mengadakan sekolah lapang Edukasi Pencegahan Nikah Dini dan bahaya pergaulan bebas bagi remaja di Desa Walen Simo, Boyolali, Jawa Tengah.
Kegiatan ini diikuti 32 orang dari perwakilan dukuh dan pengurus sekolah lapang Desa Inklusi.
Sekolah lapang difasilitasi Tim Teknis P3PD Fajar Novi dan Fathur Rohman serta menghadirkan narasumber bidan Ulfa Thoyibah.
Sekretaris Desa Walen Simo, Erfin, mengatakan, Desa Walen selama 2023 ini sudah terjadi 7 kehamilan pra nikah. Kesemuanya masih di usia sekolah SMP.
“Selama tahun 2023 di Walen sudah ada 7 kejadian, jadi kami berharap peserta dari kaum muda ini bisa menjadi duta dalam mencegah pergaulan bebas dan perkawinan anak,” kata dia dalam keterangannya, dikutip Rabu (27/12/2023).
Selanjutnya Ismail Alhabib mewakili Tim Tehnis P3PD Lakpesdam PCNU Boyolali mengatakan, berdasar data PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) UI tahun 2018, menunjukkan 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia.
"Perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia," kata Ismail.
Jika ditinjau berdasarkan prevalensi angka, Pulau Jawa, khususnya di Jabar, Jateng dan Jatim menjadi penyumbang angka perkawinan anak tertinggi sebesar 55 persen, mengingat jumlah penduduk yang besar di 3 propinsi tersebut”.
"Dengan kondisi tersebut Lakpesdam PCNU Boyolali tergerak untuk berkontribusi dalam pencegahan perkawinan anak melalui forum-forum edukasi," ujarnya
Ulfa Thoyibah selaku narasumber menjelaskan di Boyolali, permintaan dispensasi nikah anak masih cukup tinggi yaitu 195 perkara di tahun 2023, 199 perkara tahun 2022 dan 346 di tahun 2021.
“Faktor yang mengakibatkan perkawinan anak antara lain faktor kemiskinan, geografis, kurangnya akses terhadap pendidikan, ketidaksetaraan gender," ujarnya.
Baca juga: Ganjar Ingatkan Anak Muda Soal TPPO: Jangan Sampai Salah dapat Rayuan
Kejadian bencana termasuk covid 19 juga berkontribusi karena perubahan pola hidup.
Termasuk ketiadaan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif, norma sosial yang menguatkan stereotipe gender tertentu.
Misalnya, perempuan seharusnya menikah muda), dan budaya (interpretasi agama dan tradisi lokal).
“Kesalahan dalam memilih teman dan lingkungan banyak juga menjadi factor terjadinya kehamilan pra nikah”, ujar Ulfa.
Implikasi perkawinan anak menjadi sangat kompleks. Paling tidak ada 5 tantangan nyata terhadap kelangsungan generasi bangsa.
Pertama, potensi kegagalan melanjutkan pendidikan.
Kedua, potensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Studi menyatakan bahwa 24% kasus perceraian terjadi pada perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Ketiga, potensi meningkatnya angka kematian ibu. Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun, serta rentan mengalami kerusakan organ reproduksi. Karena dampak pernikahan dini dari segi fisik bisa mengakibatkan tekanan darah tinggi, anemia, bayi lahir premature dan BBLR, Ibu meninggal, infeksi bakteri, jamur dan lain-lain.
Selanjutnya yang keempat adalah potensi meningkatnya kematian bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari atau 1,5 kali lebih besar dibanding jika dilahirkan oleh ibu berusia 20-30 tahun. Kelima, potensi kerugian ekonomi.
Perkawinan anak diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan anak berpotensi merugikan pembangunan sumber daya manusia di masa depan, lanjut Ulfa.
Baca juga: Pernikahan anak di Indonesia mengkhawatirkan, permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama naik 200%
Dalam sesi membuat rencana tindak lanjut, Fajar Novi selaku Koordinator Kabupaten Tim Tehnis P3PD menekankan intervensi strategis untuk mencegah perkawinan anak adalah menggunakan strategi penguatan untuk anak perempuan.
Strategi tersebut mencakup pemberian informasi, peningkatan kemampuan, dan struktur dukungan sehingga memampukan anak perempuan mengadvokasi diri serta membangun status dan kesejahteraan sendiri.
"Jadi fokus kampanye yang efektif adalah “Stop Nikah Dini”, tambah Novi Fajar.