Ia lebih banyak menghabiskan waktu menonton informasi soal capres-cawapres lewat akun Instagram miliknya ketimbang menonton debat di televisi.
“ Kebanyakan saya lewat reels di Instagram, banyak video-video yang bahas soal Capres-cawapres,” kata dia.
Mahasiswa semester satu universitas negeri di Jogja ini mengakui banyak video-video yang mengarah ke informasi yang tidak benar.
Konten di media sosial yang menurutnya tidak biasa atau aneh, biasanya akan ia diskusikan bersama teman penghayat lainnya.
“ Karena saya tinggal bersama teman-teman penghayat, maka diskusinya sering ke sesama penghayat,” ujarnya.
Hingga akhir Desember 2023, Dwi mengaku belum menemukan informasi soal capres atau cawapres yang membahas soal Penghayat Kepercayaan.
“Kalau soal penyaringan informasi, sebatas crosscheck ke media online saja, kalau ada di berita, berarti yang di reels benar, kalau berbeda saya pilih percaya ke berita online atau TV,” kata mahasiswa asal Gunungkidul ini.
Pencarian informasi melalui media sosial juga dilakukan oleh Tri*, transpria dari Solo Raya.
Tri aktif mencari informasi soal Pilpres 2024 melalui berbagai sosial media, seperti Facebook, Instagram dan di berita online.
Meski mencari beberapa info soal capres-cawapres, ia mengaku pesimis soal perhatian para kandidat ke kelompok minoritas.
“ Soal visi-misi, saya tahu, tapi soal keadilan, HAM dan lain-lain itu hanya janji manis,” ungkapnya.
Ia menilai belum ada kandidat capres dan cawapres yang secara tegas mendukung dan atau menolak isu keragaman identitas gender dan seksual.
Trauma Kekerasan Masa Lalu
Eka, jemaah Ahamadiyah Solo mengaku juga mencari informasi yang berkaitan dengan kelompok minoritas, khususnya Ahmadiyah.