Laporan Wartawan Tribunnews.com, Imam Saputro
TRIBUNNEWS.COM - Jemari Eka* sibuk menggulir-gulirkan konten yang muncul di FYP Tiktoknya di Sekretariat Ahmadiyah Soloraya, Jumat siang awal Desember 2023.
Perhatian pemuda yang merupakan bagian dari Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Solo Raya ini berhenti di sebuah video dengan latar belakang hitam dengan tulisan putih dengan suara jedag-jedug yang berulang-ulang.
Isinya tentang janji calon presiden yang akan memerdekakan Palestina jika sang kandidat memenangi Pilpres 2024.
Eka tampak mengernyitkan dahi, dengan cepat ia membuka peramban di HP-nya lalu mengetik kata kunci yang berkaitan dengan konten yang baru saja ia lihat.
Di laman berita mainstream, ia menemukan bahwa “janji” yang diucapkan kandidat tersebut tak sepenuhnya benar.
Fakta yang terjadi di lapangan adalah cawapres Koalisi Perubahan Muhaimin Iskandar mengatakan, jika pasangan Anies Baswedan-Cak Imin (AMIN) berhasil memenangkan Pilpres 2024, maka Indonesia akan menyelamatkan Palestina.
Bukan memerdekakan seperti narasi di video yang barusan ia saksikan.
“ Kalau ada info soal capres tapi kok kayaknya aneh, bombastis atau sangat sempurna sekali, selalu saya cari informasi pembanding, mana yang lebih meyakinkan setelah saya cek di beberapa sumber terpercaya itulah yang saya percayai,” ujar Eka kepada Tribunnews.com.
Eka yang merupakan pemilih pemula ini mengaku aktif dalam mencari informasi di media sosial tentang tiga kandidat Capres-cawapres 2024.
“ Karena pertama kali nyoblos, tentu saya tidak mau salah pilih, makanya saya cari info sebanyak-banyaknya,” kata dia.
Ia mengaku mencari informasi di portal berita yang sudah terkemuka, juga laman anti hoax dan portal cek fakta yang sudah jamak ditemui.
“ Yang sering muncul di medsos, TikTok, Instagram sama X itu banyak banget, kadang pusing juga memilih mana yang bisa dipercaya,” keluh pemuda berusia 21 tahun ini.
Pencarian informasi di media sosial juga kerap dilakukan Dwi*, pemilih pemula yang juga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kota Yogyakarta.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu menonton informasi soal capres-cawapres lewat akun Instagram miliknya ketimbang menonton debat di televisi.
“ Kebanyakan saya lewat reels di Instagram, banyak video-video yang bahas soal Capres-cawapres,” kata dia.
Mahasiswa semester satu universitas negeri di Jogja ini mengakui banyak video-video yang mengarah ke informasi yang tidak benar.
Konten di media sosial yang menurutnya tidak biasa atau aneh, biasanya akan ia diskusikan bersama teman penghayat lainnya.
“ Karena saya tinggal bersama teman-teman penghayat, maka diskusinya sering ke sesama penghayat,” ujarnya.
Hingga akhir Desember 2023, Dwi mengaku belum menemukan informasi soal capres atau cawapres yang membahas soal Penghayat Kepercayaan.
“Kalau soal penyaringan informasi, sebatas crosscheck ke media online saja, kalau ada di berita, berarti yang di reels benar, kalau berbeda saya pilih percaya ke berita online atau TV,” kata mahasiswa asal Gunungkidul ini.
Pencarian informasi melalui media sosial juga dilakukan oleh Tri*, transpria dari Solo Raya.
Tri aktif mencari informasi soal Pilpres 2024 melalui berbagai sosial media, seperti Facebook, Instagram dan di berita online.
Meski mencari beberapa info soal capres-cawapres, ia mengaku pesimis soal perhatian para kandidat ke kelompok minoritas.
“ Soal visi-misi, saya tahu, tapi soal keadilan, HAM dan lain-lain itu hanya janji manis,” ungkapnya.
Ia menilai belum ada kandidat capres dan cawapres yang secara tegas mendukung dan atau menolak isu keragaman identitas gender dan seksual.
Trauma Kekerasan Masa Lalu
Eka, jemaah Ahamadiyah Solo mengaku juga mencari informasi yang berkaitan dengan kelompok minoritas, khususnya Ahmadiyah.
“ Kalau yang menyinggung soal Ahmadiyah di Pilpres 2024 ini terus terang belum menemukan, di visi misi kandidat juga tak ada, kalau pernyataan kandidat di luar masa kampanye Pilpres 2024 beberapa ada.”
Ia memberikan contoh yakni ketika Ganjar Pranowo sewaktu masih jadi Gubernur Jawa Tengah pernah menyinggung soal keberadaan Ahmadiyah di wilayahnya yang perlu dibina.
“ Tapi yang secara khusus membahas soal Ahmadiyah di kampanye Pilpres ini saya belum menemukan,” ungkapnya ketika ditemui pada 22 Desember 2023 lalu.
“ Pilihan saya cenderung ke pasangan yang akan meneruskan kebijakan Pak Jokowi, karena 9 tahun belakangan, JAI relatif aman dari kekerasan ataupun tindakan tidak menyenangkan lainnya,” kata dia.
Ia mendapatkan cerita soal kekerasan yang masif dialami JAI terjadi pada tahun 2005-an hingga sampai 10 tahun belakangan yang mulai mereda.
Ia mengaku khawatir jika kekerasan yang terjadi ke JAI itu juga menimpa dirinya, sehingga alasan keberlangsungan keamanan jadi pertimbangan utama dalam memberikan suara di Pilpres 2024.
“ Sepanjang pemerintahan Pak Jokowi kekerasan ke JAI sedikit, tapi masih ada, cuma ya relatif aman, jadi saya mencari yang kira-kira meneruskan program Pak Jokowi, yang programnya meneruskan ya Prabowo,” kata dia.
Eka yang merupakan mahasiswa salah satu universitas di Solo ini juga kerap berdiskusi secara informal dengan anggota Ahmadiyah lain di Solo.
“ Hanya diskusi secara umum, kalau untuk pilihan dikembalikan ke masing-masing individu.”
Sementara Dwi, penghayat kepercayaan mengaku akan memberikan hak suaranya kepada kandidat yang beberapa kali memberikan perhatian ke Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“ Ada kandidat yang setahu saya sudah beberapa kali berkegiatan dengan penghayat kepercayaan, itu mungkin yang jadi pertimbangan untuk memilih kandidat tersebut,” kata dia.
Berbeda dengan Eka dan Dwi, Tri yang merupakan transpria dari salah satu kabupaten di Solo Raya ini menyatakan untuk tidak memilih karena ada pengalaman di masa lalu.
“Berdasarkan yang sudah-sudah, apapun hasil Pilpres, isu keragaman identitas gender dan seksual masih jadi sasaran diskriminasi dan kekerasan,” kata dia.
Tri hanya berharap agar siapapun yang terpilih berani bersikap tegas, bukan hanya memberikan janji-janji sewaktu kampanye.
“ Harus ada tindakan langsung dengan memberikan perlindungan bagi kelompok dengan keragaman identitas gender dan seksual serta memberikan fasilitas yang sesuai,” harap dia.
“ Saya lihat yang ada di medsos, cuplikan debat juga lihat, namun saya sudah menentukan pilihan untuk tidak memilih,” ungkap Tri.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia mengatakan di masa kampanye ini memang bermunculan konten hoaks yang menggunakan narasi diskriminatif ke kelompok minoritas.
“ Dari data Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia) konten-konten itu menyasar kelompok minoritas dan marjinal seperti rekan disabilitas, LGBTQI, dan etnis Tionghoa,” ungkap wanita yang akrab disapa Amel ini.
Menurutnya, hal itu muncul bisa sebagai cara untuk mendelegitimasi proses pemilu, misalnya ke pengusikan hak memilih disabilitas mental.
“ Dan cara tak terpuji itu juga untuk menggaet suara, misal narasi anti LGBT di beberapa daerah,” kata Amel.
Untuk itu, kata dia, masyarakat diminta waspada dan selalu memverifikasi informasi yang beredar, utamanya jika menyangkut isu sensitif di Pilpres 2024 ini.
Isu Kelompok Minoritas di Debat Capres 2024
Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto yang juga satu di antara panelis debat pertama Capres 2024 mengatakan isu soal kelompok minoritas sebenarnya masuk dalam pertanyaan di debat Capres pertama pada Senin 12 Desember 2023.
“ Pertanyaan soal kelompok minoritas seperti kelompok minoritas agama, kebebasan beragama kelompok minoritas, penghayat kepercayaan, soal pendirian rumah ibadah, lalu masalah difabel kemudian perempuan itu sudah kami siapkan, namun pertanyaan itu sayangnya tidak muncul,” kata dia.
Pada debat capres pertama yang mengusung tema Pemerintahan, Hukum, HAM, Pemberantasan Korupsi, Penguatan Demokrasi, Peningkatan Layanan Publik, dan Kerukunan Warga itu, 18 pertanyaan sudah disiapkan oleh 11 penelis, termasuk soal kelompok minoritas.
“ Itu murni karena di undian tidak muncul, waktu debat kan terbatas sehingga mekanismenya pertanyaan yang diberikan ke kandidat diundi, kebetulan soal kelompok minoritas tidak muncul” kata Agus ketika diwawancarai Tribunnews.com akhir Desember 2023.
Meski demikian, ia berharap pada capres-cawapres bisa memberikan perhatian ke kelompok minoritas dalam berkampanye.
“ Mungkin suaranya tidak signifikan, tapi setidaknya ada perhatian ke teman-teman kelompok minoritas bahkan jaminan keadilan sosial di masa mendatang bisa terwujud, karena yang bisa mewujudkan (keadilan sosial) ya negara,” kata dosen Fakultas Hukum UNS Solo ini.
Infobesitas informasi Pemilu 2024
Sementara itu, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri ( UIN ) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Irawan Wibisono menyoroti fenomena yang jamak terjadi pada pemilih pemula, termasuk Eka, Dwi, dan Tri.
Ia menyebut banjir informasi di media sosial banyak menimpa generasi milenial khususnya pemilih pemula.
“ Sekarang semua paslon masif kampanye di media sosial, muncul banyak sekali informasi yang bisa sampai ke pemilih, apalagi pemilih pemula yang tiap hari pegang HP atau gadget lainnya,” kata dia.
“ Hal itu perlu dibarengi dengan kemampuan memilih informasi yang benar atau literasi informasi tengah banjir informasi soal capres-cawapres di media sosial.”
Irawan mengimbau kepada pemilih pemula untuk selalu melakukan konfirmasi ulang terhadap semua informasi soal capres-cawapres.
“ Bisa googling sendiri, atau tanya ke orang tua juga perlu, jangan mentang-mentang FYP di Tiktok itu pasti benar, harus dicek lagi,” kata dia.
Banjir informasi soal Pemilu 2024 bisa membuat pemilih pemula infobesitas atau kelebihan informasi soal pemilu sehingga menyebabkan kebingungan.
“ Akan tetapi saat ini sangat susah untuk bisa menghentikan banjir informasi, yang bisa dilakukan pemilih pemula adalah “berenang” di tengah banjir informasi tersebut, caranya ya disiplin verifikasi untuk memilah informasi mana yang dapat dipercaya,” tegasnya.
Menurut Irawan, pemilih pemula harus lebih rajin untuk memverifikasi informasi.
“Dikaitkan ke rekan minoritas, adanya opinion leader di kelompoknya masing-masing itu bisa membantu untuk diskusi hingga bisa ke menentukan pilihan, karena faktor pengalaman tentunya, selain pemilih pemula bisa aktif mencari informasi yang benar dengan caranya sendiri,” kata dia.
“ Seperti cara kerja wartawan, harus verifikasi beberapa kali untuk meyakinkan, jangan dari satu sumber terus dianggap benar lalu disebar-sebarkan, saya kira generasi sekarang sudah pintar-pintar,” pesan Irawan.
Ia juga berharap tim kampanye pasangan capres dan cawapres selain memberikan informasi soal visi misi juga memerangi misinformasi atau disinformasi yang beredar di media sosial.
“ Harapannya ada pendidikan politik yang ditunjukkan oleh paslon dan timnya, agar generasi muda bisa mendapatkan ilmu dalam pesta demokrasi ini,” tutup Irawan.
Sebagai informasi, dari 204 juta pemilih yang terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pemilu 2024, jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa.
Rinciannya, pemilih berusia 17 tahun sebanyak 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Kemudian pemilihan dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa.
*Eka, Dwi, dan Tri bukan nama sebenarnya