"Apa yang dialami ananda Rio (panggilan Putu Satria), kami kenang sebagai suatu kejadian yang mendalam. Jadi dasar reformasi pendidikan vokasi Kemenhub," ucapnya.
Salah satu bentuk reformasi yang dijanjikan yakni tidak menerima taruna baru pada tahun ajaran mendatang.
Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai senioritas di STIP.
"Jadi kita akan putus satu angkatan, memutus tradisi jelek dan tidak ada lagi senior junior," terangnya.
Baca juga: Langkah Kemenhub usai Kasus Tewasnya Taruna STIP: Direktur Dibebastugaskan hingga Ubah Kurikulum
Sistem asrama yang selama ini senior dan junior tinggal bersama juga akan diubah.
"Kami juga akan libatkan orangtua untuk ikut mengasuh anak didik, melalui komite sekolah," sambungnya.
Seragam serta atribut dinas STIP yang menunjukkan ada perbedaan senior dan junior juga diubah.
"Ke depan semua atribut kami hilangkan. Kami akan gunakan yang lebih humanis. Tidak setiap hari kami gunakan seragam itu (dinas), tapi ada seragam putih, batik, olahrahraga, dan libur bisa pakaian bebas," pungkasnya.
Peran 4 Tersangka
Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, mengatakan keempat tersangka memiliki peran yang berbeda.
Tersangka FA berperan memanggil korban dan empat temannya dari lantai 3 ke lantai 2.
Korban dan teman-temannya dianggap melanggar lantaran masih mengenakan seragam olahraga yang seharusnya sudah mengenakan seragam dinas STIP.
"Ini yang diidentifikasi menurut persepsi senior tadi, salah atau menggunakan pakaian olahraga memasuki ruang kelas dengan mengatakan 'Woi, tingkat satu yang pakai PDO (pakaian dinas olahraga), sini!'," ungkapnya menirukan teriakan tersangka, Rabu (8/5/2024), dikutip dari TribunJakarta.com.
Baca juga: Profil Ahmad Wahid, Ketua STIP yang Dibebastugaskan Buntut Kasus Taruna Tewas, Punya Harta Rp 12,4 M
FA juga terekam kamera CCTV berdiri di depan toilet untuk mengawasi.
Kombes Pol Gidion menambahkan, tersangka WJP memprovokasi Tegar melakukan hukuman kekerasan ke korban.