TRIBUNNEWS.COM - Inilah kabar terbaru soal kasus meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi, Universitas Diponegoro (Undip) bernama Aulia Risma Lestari.
Atas meninggalnya Aulia Risma, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun melakukan investigasi dan menemukan adanya dugaan pemalakan peserta didik PPDS Anestesiologi di RSUP Kariadi, Semarang.
Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Yan Wisno Prajoko meminta Kemenkes untuk mengungkap dugaan pemalakan tersebut.
"Jika ada pelaku sanksi seberat-beratnya. Jadi jika dipalak ada yang memalak ada korban yang dipalak,"
"Uang yang dipalak masuk ke kantong yang memalak. Jadi dibuka saja yang dipalak saja, yang memalak siapa, besaran uangnya berapa. Itu diungkap saja," jelasnya, dikutip dari TribunJateng.com.
Selain itu, ia menuturkan bahwa pihak kampus juga melakukan investigasi internal.
"Karena ini publik trust (kepercayaan publik) tidak hanya internal kampus tapi dari luar," tandasnya.
Polda Lakukan Pendalaman
Sementara itu, pihak Polda Jawa Tengah juga tengah melakukan pendalaman soal dugaan pemalakan ini.
Diwartakan sebelumnya, Kemenkes RI menemukan adanya pemalakan dengan nilai Rp20-40 juta per bulan.
Diduga, pemalakan tersebut membuat Aulia Risma alami tekanan.
"Iya kami telah mendapatkan informasi adanya pungutan itu nanti menjadi bahan petunjuk bagi penyidik melakukan penyelidikan lebih mendalam lagi," beber Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto kepada TribunJateng.com.
Baca juga: Iuran Rp 30 Juta di PPDS Anestesi Undip, Guru Besar FK: Bukan Pemalakan, untuk Makan 84 Orang
Artanto juga menuturkan bahwa pihaknya tengah mengkalkulasi soal besaran pungli tersebut.
"Kami berharap dari petunjuk ini mempermudah pemeriksaan dan mengambil keterangan kepada pihak terkait," ungkapnya.
Diketahui, Jubir Kemenkes RI, Mohammad Syahril membeberkan fakta baru soal kasus kematian Aulia Risma Lestari ini.
Dari hasil investigasi, ditemukan adanya dugaan permintaan tidak biasa yang diterima oleh almarhumah dari seniornya.
Aulia Risma seolah dipaksa untuk memenuhi permintaan dana sebesar Rp20-40 juta per bulan untuk seniornya.
"Berdasarkan kesaksian, permintaan ini berlangsung sejak almarhumah masih di semester 1 pendidikan atau di sekitar Juli hingga November 2022," kata Syahril kepada wartawan, Minggu (1/9/2024).
Permintaan uang tersebut adalah uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam program PPDS yang diikuti oleh Aulia Risma.
Syahril menuturkan, Aulia Risma ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya dan juga menyalurkan uang tersebut untuk kebutuhan non-akademik seperti membiayai penulis lepas untuk membuat naskah akademik senor, menggaji office boy (OB), dan berbagai kebutuhan senior lainnya.
Ia menambahkan, permintaan ini lah yang diduga menjadi awal mula korban mengalami tekanan dalam proses pembelajaran.
"Pungutan ini sangat memberatkan almarhumah dan keluarga,"
"Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan tersebut dengan nilai sebesar itu," ungkap dia.
Yan Wisnu Diberhentikan Sementara
Terkait kasus dugaan bunuh diri Aulia Risma, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Yan Wisnu diberhentikan sementara dari posisinya sebagai dokter spesialis onkologi di RSUP Dr Kariadi.
Pemberhentian ini pun disayangkan oleh Wakil Rektor IV Undip, Wijayanto.
Ia menyayangkan pemberhentian Yan Wisnu ini, lantaran investigasi oleh polisi belum selesai.
Baca juga: Fakta Baru Kasus Kematian Mahasiswi PPDS Undip, Dekan Diberhentikan hingga Masalah Uang Rp40 Juta
Terlebih, pembelajaran PPDS juga sudah diberhentikan sejak 14 Agustus 2024 lalu.
Ia menilai, hal ini bisa merugikan masyarakat yang jadi pasien maupun mahasiswa PPDS yang menjalani praktik di RSUP Kariadi.
"Penutupan program studi itu tidak hanya merugikan 80-an para mahasiswa PPDS lainnya. Namun juga masyarakat yang mesti panjang mengantre karena kelangkaan dokter di RS Karyadi," ungkap Wijayanto, dikutip dari Kompas.com.
Diketahui, surat pemberhantian tersebut juga ditandatangani oleh Dirut RSUP Dr Kariadi, Agus Akhmadi pada 28 Agustus 2024.
Menurut Wijayanto, pemberhentian Dekan FK Undip oleh dirut rumah sakit itu dilakukan karena direktur mendapat tekanan dari kementerian kesehatan.
Padahal, ujarnya, jam kerja yang overload tersebut adalah kebijakan rumah sakit yang merupakan ranah dari Kementerian Kesehatan.
"Seorang residen, julukan untuk mahasiswa PPDS yang praktik di RS, mesti kerja lebih dari 80 jam seminggu,"
"Tidur hanya 2-3 jam setiap hari. Kadang mesti bekerja hingga 24 jam alias sama sekali tidak tidur," ungkapnya.
Pihak Undip pun mendorong supaya investigasi dilakukan secara tuntas.
"Undip sangat terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar, baik itu kepolisian maupun Kemenkes,"
"Jika memang terbukti ada perundungan, hukuman untuk pelakukanya jelas dan tegas, drop out," tegasnya.
Mengutip TribunJateng.com, Kabiro Komunikasi Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadi Tarmizi menuturkan, alasan penghentian aktivitas klinis Yan Wisnu hanya sementara.
Penghentian ini bukan penghentian jabatan Yan Wisnu sebagai Dekan.
"Penghentian ini untuk memperlancar proses investigasi oleh kemenkes dan kepolisian serta mencegah potensi konflik kepentingan," tuturnya.
Setelah proses investigasi selesai, maka RSUP Kariadi akan segera mengaktifkan kembali kegiatan klinis dr Yan Wisnu.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Dekan FK Undip Dokter Yan Tantang Kemenkes Buka Data Siapa Pelaku Pemalakan di PPDS
(Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto/Rina Ayu Panca Rini)(TribunJateng.com, Iwan Arifianto/Rahdyan Trijoko Pamungkas)(Kompas.com, Titis Anis Fauziyah)