Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, merespons perihal seorang warga di Badung, Bali, yakni I Nyoman Sukena yang terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta lantaran memelihara spesies landak langka dan dilindungi.
Adapun Sukena menangis histeris usai keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Denpasar Bali.
Sukena pada Selasa (29/8/2024), mengaku tidak mengetahui aturan tersebut. Ia pun didakwa melanggar Undang-Undang (UU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurut Sahroni, seharusnya pemelihara landak tersebut diberi peringatan sebelum penjatuhan pidana.
“Seharusnya yang bersangkutan cukup diberi peringatan dan membuat pernyataan. Jangan tiba-tiba berujung pidana dan denda seperti ini, apalagi ia sudah menyebut tidak tahu soal aturan tersebut. Jadi saya rasa penanganan kasus ini harus dikaji ulang, sangat tidak adil,” kata Sahroni dalam keterangannya, Minggu (8/9/2024).
Lebih lanjut, setelah diviralkan olehnya, Sahroni pun berharap aparat penegak hukum, dapat mengoreksi penanganan kasus ini.
Dia berharap Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dapat mensosialisasikan aturan terkait kepemilikan hewan langka secara lebih maksimal.
“Karena di kita ini prinsipnya masih suka no viral no justice, makanya kemarin saya suarakan, saya viralkan. Jadi setelah ini, mudah-mudahan para stakeholder, baik itu kejaksaan maupun kepolisian, bisa segera mengoreksi apa yang terjadi. Juga BKSDA dan pihak terkait, harusnya lebih masif sosialisasi aturannya. Gak semua masyarakat tahu mana hewan yang dilindungi dan tidak,” ujar politikus Partai NasDem itu.
Sahroni tidak ingin hukum digunakan secara ‘buta’ untuk menekan masyarakat yang jelas-jelas mengaku tidak mengetahui aturan seperti ini.
Baca juga: 11 Orang Remaja Pelaku Perang Sarung di Ngabang Landak Diamankan Polisi
“Kan kasihan kalau tidak tahu menahu tapi diancam hukuman dan denda sebesar itu. Perlu ada keadilan di sini,” pungkas Sahroni.
Kronologi kasus
Kasus ini bermula saat terdakwa I Nyoman Sukena kedapatan memiliki empat Landak Jawa dalam kondisi hidup di Bongkasa Pertiwi, Abiansemal, Badung, Bali pada 4 Maret 2024.
Sukena didakwa melanggar Undang-Undang (UU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE).
Hal itu sebagaimana diatur dan diancam Pasal 21 ayat (2) huruf A juncto Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5/1990 tentang KSDA-HE dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Padahal, Sukena yang mengaku sebagai orang awam telah mengatakan bahwa tidak tahu menahu jika landak jawa tersebut merupakan satwa yang dilindungi undang-undang.
Karena terjerat kasus ini, pria 38 tahun itu tidak bisa menghidupi istri dan kedua anaknya yang kini hanya bisa pasrah dan meratapi nasib.
Tangis Sukena dan istrinya tak terbendung ketika ia menghadapi kasus hukum ini.
Diketahui, Sukena merawat landak jawa itu sejak landak jawa tersebut masih kecil yang ditemukan ayah mertuanya di ladang.
Ia hanya berniat memelihara.
Namun niat mulianya menjadi bumerang saat ada seorang yang melaporkan ke polisi hingga diadili.
Sukena pun telah menjalani sidang pemeriksaan saksi.
Namun, saksi dari penyidik kepolisian dalam agenda sidang pemeriksaan saksi Jaksa Penuntut Umum kasus "Landak Jawa" di Pengadilan Negeri Denpasar, pada Kamis 5 September 2024 tidak hadir.
Hal ini sangat disayangkan oleh tim penasihat hukum terdakwa I Nyoman Sukena.
Penasihat hukum I Nyoman Sukena, R Bayu Perdana kepada Tribun Bali mengatakan saat ini tengah mengupayakan untuk membebaskan Nyoman Sukena dalam proses persidangan ini.
"Kami berharap tadinya saksi dari penyidik kepolisian sesuai yang dijadwalkan hadir, untuk menjelaskan kenapa perkara ini tidak diselesaikan secara restorative justice. Namun disayangkan saksi dari kepolisian tersebut tidak hadir," ujar Bayu.
Adapun saksi yang dijadwalkan hadir merupakan saksi fakta dari pihak yang menyaksikan diambilnya Landak Jawa tersebut dan ahli dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam).
Bayu mengatakan, bahwa seharusnya perkara ini tidak masuk ke pengadilan karena dapat diselesaikan dengan restorative justice.
"I Nyoman Sukena hanya menyelamatkan landak yang ditemukannya di sawah, tanpa ada niat untuk menyakiti maupun menjual landak tersebut," tuturnya.
Ia menyebut, Jaksa Penuntut Umum salah dalam mendakwa terdakwa karena menggunakan Undang-undang yang sudah tidak berlaku.
"Maka sudah sepatutnya terdakwa segera dibebaskan lepas dari segala tuntutan," jelasnya.
Pihaknya optimis karena hakim menyatakan saat ini masih ada kemungkinan restorative justice.
"Namun tidak seperti dalam tahap penyidikan maupun penuntutan, tapi nanti dalam bentuk pertimbangan hakim dalam putusan," ujar dia. (*)