Gelombang panas adalah peristiwa cuaca ekstrem, tetapi penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim membuat peristiwa ini lebih mungkin terjadi.
Gelombang panas memiliki dampak yang hebat di banyak negara maju dan berkembang.
Penggunaan listrik meningkat karena AC dan unit pendingin di rumah dan kantor bekerja lebih keras untuk menjaga ruangan tetap dingin.
Sumber daya air juga terkuras karena pembangkit listrik membutuhkan air dalam jumlah besar untuk pendinginan dan tanaman mungkin memerlukan air yang lebih banyak.
Pun demikian juga konsumsi air untuk banyak orang, akan terjadi peningkatan sebagai upaya agar tetap terhidrasi dan sejuk.
Panas dapat memiliki dampak yang bertahan lama karena tanaman dapat rusak, mengurangi produksi yang menyebabkan kekurangan pasokan, dan atau peningkatan biaya bagi petani dan konsumen.
Apakah Indonesia Bisa Terjadi Gelombang Panas?
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gelombang panas yang terjadi di negara-negara Eropa sangat kecil terjadi di Indonesia.
Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang dikelilingi perairan yang cukup luas.
"Indonesia belum pernah terjadi heatwave karena kita dikelilingi lautan. Itu bisa mengurangi dampak heatwave karena lembap air," kata Koordinator Sub Bidang Informasi Gas Rumah Kaca BMKG, Albert Nahas, Selasa (18/7/2022).
Dari catatan BMKG, ibu kota Jakarta pernah mencapai suhu panas 39 derajat celcius. Namun, kejadian tersebut bukanlah gelombang panas.
"Jadi secara definisi dulu, heatwave itu temperatur di atas 35 derajat atau lebih, selama lima hari berturut-turut. Nah, dari definisi ini Indonesia belum mengalami, setidaknya itu yang dicatat BMKG," imbuh Albert.
Meski demikian, kondisi cuaca yang ekstrem di Indonesia diperlu diwaspadai karena juga berdampak pada kesehatan.
(Tribunnews.com/Tio, Rina Ayu)