News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

7 Fakta Tragedi Bintaro, 31 Tahun Lalu: Petugas Sempat Kejar Kereta, tapi Malah Disoraki Penumpang

Penulis: Sri Juliati
Editor: Fathul Amanah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

31 tahun lalu, tepatnya pada 19 Oktober 1987, sebuah peristiwa kecelakaan tragis yang melibatkan dua kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, terjadi. Artikel ini telah tayang di Tribuntravel.com dengan judul 5 Fakta Tragis Tragedi Bintaro, dari Nasib Masinis hingga'Kuburan' Lokomotif Maut, http://travel.tribunnews.com/2016/10/19/kilas-balik-19-oktober-5-fakta-tragis-tragedi-bintaro-dari-nasib-masinis-hingga-lokomotif-maut?page=all. Penulis: Sri Juliati Editor: Sri Juliati

TRIBUNTRAVEL.COM - Tiga puluh satu tahun berlalu, namun sebuah tragedi kecelakaan kereta api masih jelas dalam ingatan.

Bagaimana suara tabrakan itu, suara jeritan bersahutan, serta darah berceceran di mana-mana.

Ya, 31 tahun lalu, tepatnya pada 19 Oktober 1987, sebuah peristiwa kecelakaan tragis yang melibatkan dua kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, terjadi.

Kelak di kemudian hari, orang mengenalnya dengan Tragedi Bintaro jilid I.

Sebab, 26 tahun kemudian atau tepatnya pada 9 Desember 2013, kecelakaan kereta api kembali terjadi di lokasi yang hampir berdekatan dengan Tragedi Bintaro I.

Baca: Tragedi Bintaro 1987, Berawal dari Salah Paham Hingga Jadi Sejarah Kelam Kereta Api Indonesia

Inilah satu di antara musibah paling buruk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, sekaligus menyita perhatian dunia.

Dirangkum dari wikipedia.org, peristiwa bermula dari kesalahan Kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota ke Stasiun Sudimara.

Padahal saat itu, jalur KA di Stasiun Sudimara yang hanya punya tiga jalur, dua di antaranya sudah diisi kereta lain, yaitu KA Indocement yang akan berangkat ke Jakarta dan gerbong tanpa lokomotif.

KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota sampai di Stasiun Sudimara pukul 06.45 WIB dan sedianya akan bersilang dengan KA 220 Cepat Jurusan Tanah Abang-Merak di Stasiun Kebayoran.

Artinya, KA 220 harus mengalah dan menunggu di Stasiun Kebayoran.

Namun Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220.

Baca: Hari Ini Tepat 31 Tahun Tragedi Bintaro, Sejarah Kelam Perkeretapian Indonesia

Di saat yang bersamaan, KA 225 juga berangkat dari Stasiun Sudimara lantaran salah tafsir.

Rencananya, KA 225 akan dilangsir di jalur 3 dan masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan lantaran penuhnya lokomotif.

Masinis malah bertanya pada penumpang di lokomotif, "Berangkat?" maka penumpang pun menjawab, "Berangkat!"

Dan tak lama kecelakaan tragis itu terjadi di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah utara Sekolah Menengah Umum Negeri 86 Bintaro.

Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan "S", berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan kurang lebih 8 km sebelum Stasiun Sudimara.

Kedua kereta sarat penumpang itu hancur, terguling, dan ringsek.

Kedua lokomotif dengan seri BB303 16 dan BB306 16 rusak berat.

Jumlah korban jiwa meninggal sebanyak 156 orang dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.

Setelah diselidiki, kecelakaan terjadi karena faktor manusia.

Dan, inilah fakta-fakta terkait kecelakaan tragis tersebut seperti dirangkum TribunTravel.com dari berbagai sumber:

1. PPKA Sudimara sempat kejar kereta

Kondisi dalam gerbong kereta api yang bertabrakan. Peristiwa ini kemudian disebut Tragedi Bintaro. (Jimmy WP)

Saat KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota berangkat dari Stasiun Sudimara, padahal semestinya dilangsir di jalur 3, semua petugas di stasiun itu kaget.

Beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.

PPKA Sudimara, Djamhari, mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil.

Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah.

Ironisnya, penumpang yang berada di atap kereta menyoraki Djamhari, bahkan ada yang tertawa-tawa.

Merasa sia-sia, Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, ia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung.

Namun kereta tetap melaju.

Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.

2. Warga dan petugas sempat kewalahan mengevakuasi korban

Kecelakaan kereta api di Bintaro, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 19 Oktober 1987. (KOMPAS/DUDY SUDIBYO)

Seorang warga setempat, Zainal, menjadi saksi hidup Tragedi Bintaro 1987.

Seperti dilansir Kompas.com, ia juga turut membantu mengevakuasi korban yang selamat dan tewas.

Saat itu, petugas dan warga sampai kewalahan mengevakuasi penumpang, karena terlalu banyaknya korban yang berjatuhan.

Bahkan tak sedikit mayat yang terjepit di persambungan kereta.

Bahkan ada yang wajahnya tak dapat dikenali sama sekali, karena seperti habis tersiram sesuatu.

Ada pula mayat yang anggota tubuhnya terpisah.

3. Sanksi atas kelalaian pihak terkait

Akibat kecelakaan tersebut, sang masinis KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan.

Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225.

Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan.

Sementara Umrihadi, PPKA Stasiun Kebayoran Lama dipenjara selama 10 bulan.

4. Warga setempat gelar tahlilan di pinggir rel setiap tahunnya

Tragedi Bintaro tak hanya menyisakan kepedihan bagi para penumpang dan keluarganya.

Namun, warga yang berada di sekitar lokasi kejadian juga tak dapat melupakan begitu saja peristiwa itu.

Untuk mengenang Tragedi Bintaro, warga sekitar memasang bendera merah putih di sekitar rel.

Warga juga menggelar tahlilan bersama di pinggir rel, untuk mendoakan arwah korban yang meninggal dunia.

5. Tragedi Bintaro dijadikan lagu dan film

(photobucket.com)

Untuk mengenangn Tragedi Bintaro, musisi Iwan Fals menulis lagu berjudul 19/10 atau 1910 (diucapkan: sembilan belas-sepuluh, berarti 19 Oktober).

Juga Ebiet G Ade yang membuat lagu Masih Ada Waktu dari peristiwa kecelakaan ini.

Dua tahun kemudian, tepatnya 1989, peristiwa ini diangkat menjadi sebuah film yang berjudul Tragedi Bintaro dan disutradarai oleh Buce Malawau.

Film berjudul Tragedi Bintaro dibintangi antara lain Roldiah Matulessy, Ferry Octora, dan Lia Chaidir yang diangkat dari kisah nyata seorang korban kecelakaan, Juned.

Di akhir film, muncullah Juned yang sebenarnya di rel kereta api yang memakai penyangga kaki, karena kaki kirinya harus diamputasi.

“Sayalah Juned, seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro, saya berterima kasih karena kisah kami sekeluarga diangkat kelayar putih lewat film ini, moga-moga ada hikmahnya bagi kita semua” demikian kata-kata Juned yang asli di akhir kisah.

6. Lokasi bangkai lokomotif 'dikuburkan'

Balai Yasa, Yogyakarta. (TRIBUNJOGJA)

Balai Yasa Yogyakarta menjadi tempat penyimpanan lokomotif tua dari semua daerah di Pulau Jawa.

Dari puluhan lokomotif yang 'dikuburkan' di Balai Yasa, ada dua lokomotif yang sempat saling bertabrakan saat Tragedi Bintaro.

Eko Purwanto, EVP Balai Yasa Yogyakarta membenarkan bila lokomotif maut itu masih ada di sana.

Dari isu yang beredar, banyak pegawai Balai Yasa yang enggan mendekatinya karena menyimpan aura mistis.

Purwanto pun tak menampik soal adanya cerita mistis yang beredar.

Namun, selama ia bertugas di sana, hal-hal mistis itu tak mengganggu kerjanya.

"BB304 nomor seri lupa. Cerita mistis ada, bahkan tidak cuma soal itu (lokomotif yang terlibat kecelakaan di Bintaro). Tapi enggak masalah, pekerjaan tetap lancar," kata dia.

7. Nasib masinis KA

Slamet Mantan Masinis Tragedi Bintaro 1987 menunjukkan Kartu Keanggotaannya sebagai masinis ketika ditemui, Selasa (10/12/2013). (Tribun Jogja, Rento Ari Nugroho)

Dalam tragedi tersebut, masinis KA 225, Slamet Suradio disalah karena dianggap melanggar aturan dengan memberangkatkan kereta tanpa izin PPKA.

"Saya ingat jelas pagi itu kereta saya diberangkatkan."

"Saya melihat PPKA memberi tanda, asisten masinis telah naik ke kabin, dan kondektur pun telah masuk ke kereta," kata Slamet seperti dilansir dari Tribun Jogja.

Karena itu, ia kesal ketika tahu hanya dirinya saja yang dipecat dengan tidak hormat dan tidak mendapatkan uang pensiun.

Akibat kecelakaan tersebut, Slamet Suradio mengalami gangguan kesehatan dan trauma pascakecelakaan juga masih dirasakannya.

Setelah tak lagi berada di Jakarta, Slamet merajut hidup baru di kampung halamannya, Purworejo, Jawa Tengah.

Ia memilih berjualan rokok eceran.

(Tribunnews.com/Sri Juliati)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini