TRIBUNNEWS.COM - Sepekan terakhir, ramai kasus pembunuhan sadis yang terjadi di Jabodetabek.
Kasus-kasus itu antara lain jenazah korban yang dimasukkan dalam drum di Bogor pada Minggu (18/11/2018) dan pembunuhan satu keluarga di Bekasi pada Senin (12/11/2018).
Kasus-kasus seperti itu ramai dibicarakan publik sekaligus menjadi momok baru bagi masyarakat.
Kenapa pembunuhan sadis sering terjadi?
Apakah pelaku pembunuhan sadis termasuk Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ?
Banyak orang lalu berspekulasi para penjahat itu mengalami gangguan jiwa.
Baca: 7 Fakta Mayat dalam Drum, Dimakamkan saat Ulang tahun Anak hingga Ditemukan Luka Tusukan
Fakta menunjukkan, kebanyakan orang yang mengalami gangguan jiwa tidak pernah melakukan kejahatan.
Dalam penelitian di Amerika Serikat terungkap, hanya 4 persen kekerasan pada orang lain yang terkait dengan sakit jiwa.
Meski demikian, hampir 40 persen pemberitaan media mengenai penyakit kejiwaan menghubungkan tindakan kekerasan itu dengan penyakit mental.
Menurut Departemen Kesehatan AS, orang dengan gangguan jiwa berat berpotensi 10 kali lipat menjadi korban kejahatan sadis dibandingkan dengan orang pada populasi umum.
Dikutip Tribunnews.com dari jurnal Health Affairs, para peneliti dari Johns Hopkins Bloomber School of Public Health mengamati 400 berita tentang penyakit jiwa yang dipublikasikan dalam dua dekade, tahun 1994-2014, di media terkenal.
Kekerasan disebutkan pada 55 persen artikel, dan hampir 40 persen artikel menyebutkan kejahatan melawan orang lain.
Penyakit mental terkait dengan bunuh diri pada pemberitaan dan 29 persen dalam acara televisi.
Dikutip Tribunnews.com dari TribunJabar.id, Psikiater Prof. Dr. LK Suryani mengatakan, pada dasarnya semua manusia memiliki kans atau bibit gangguan jiwa.
Sehingga, saat pertama kali mengalami gangguan jiwa harus segera mendapatkan penanganan yang tepat.
"Semua orang punya kans gangguan jiwa. Yang mempercepat mereka mengalami gangguan jiwa adalah pola asuh sewaktu kecil," kata Prof. Suryani, Rabu (23/5/2018) di Kubu Kopi, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar.
Selain itu, bullying di sekolah juga mempercepat proses ganguan jiwa baik yang ringan atau berat.
Untuk penyembuhan ODGJ konsep yang ditawarkannya yaitu comunity base yang melibatkan keluarga, masyarakat, pemerintah, relawan, karena di Bali ada sekaa truna jadi bisa dengan melibatkan mereka.
Baca: 8 Pengakuan Tersangka Pembunuhan di Bekasi: Sakit Hati Dibangunkan saat Tidur Pakai Kaki
"Dengan melibatkan keluarga dan memberikan perhatian, kemungkinan kambuh bisa dikurangi. Pelibatan sekaa truna, masyarakat dan volunteer, biayanya lebih murah tapi masyarakat terdidik. Siapapun bisa gila, kita pun bisa kalau tidak tanggap terhadap masalah," imbuhnya.
Semua penanganan ODGJ bisa dilakukan di rumah, RSJ merupakan tempat sementara kalau penderita benar-benar gawat sekali dan tidak bisa ditangani di rumah.
Di rumah pasien diberikan pengobatan, sehingga dengan obat bisa mengalami perubahan yang cepat.
Terkait kesembuhan, Suryani juga mengingatkan agar jangan berpikir sekali diobati pasien sembuh karena gangguan jiwa sama seperti flu, sehingga keluarga harus mempelajari gejala-gejala saat akan kambuh.
"Jika akan kambuh tanda-tandanya sukar tidur, mulai bengong, tidak mau makan. Kalau sudah ada tanda dini langsung diberikan obat atau kontrol," pungkasnya.
(Tribunnews.com / Bunga)