TRIBUNNEWS.COM - Ratusan musisi memberikan pernyataan sikap menolak draf Rancangan Undang Undang (RUU) Permusikan.
Dari ratusan musisi tersebut ada beberapa nama misalnya Rara Sekar, Danilla Riyadi, Endah N Rhesa, Efek Rumah Kaca, Bonita, Barasuara, Vira Talissa, Petra Sihombing, Nadine Hamizah, Mondo Gascoro, dan masih banyak lagi.
Dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com pada Senin (4/2/2019), para musisi berpendapat, pemerintah tidak memiliki kepentingan untuk mengesahkan rancangan undang-undang itu.
"Kami, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan selaku para pelaku musik Indonesia menyatakan, Menolak RUU Permusikan untuk diundangkan," demikian bunyi pernyataan yang diterima dari Koalisi Nasional.
"Setelah membaca dan menelaah naskah RUU Permusikan saat ini, kami merasa tidak ada urgensi bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkannya untuk menjadi Undang-Undang," sambungnya.
Baca: Perseteruan RUU Permusikan Kian Panas, Jerinx SID Unggah Komik Sindir Anang Hermansyah-Ashanty
Para musisi ini menilai, RUU Permusikan membatasi ruang gerak berekspresi dalam bermusik.
RUU Permusikan juga memuat pasal yang tumpang tindih dengan beberapa undang-undang lain.
Danilla Riyadi mengatakan, rancangan aturan ini tidak penting.
"Kalau musisinya ingin sejahtera, sebetulnya sudah ada UU Pelindungan Hak Cipta dan lain sebagainya dari badan yang lebih mampu melindungi itu."
"Jadi untuk apa lagi RUU Permusikan ini," kata Danilla.
Sementara itu, Rara Sekar menemukan setidaknya 19 pasal yang bermasalah dalam RUU ini.
"Mulai dari ketidakjelasan redaksional atau bunyi pasal, ketidakjelasan 'siapa' dan 'apa' yang diatur, hingga persoalan mendasar atas jaminan kebebasan berekspresi dalam bermusik," jelas Rara Sekar.
Berikut ini empat poin yang disoroti oleh Koalisi Nasional untuk mengkritik dan menolak RUU Permusikan:
1. Pasal Karet
Para musisi dan media sudah mengkritisi mengenai RUU ini, terutama pada Pasal 5 yang memuat kalimat yang penuh dengan multi intrepretasi dan bias.
Seperti 'menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi.'
"Pasal karet seperti ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai," jelas Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca.
Selain itu, pasal ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh UUD 1945.
Penyusun RUU Permusikan dianggap telah menabrak logika dasar dan etika konstitusi dalamnegara demokrasi.
"Ini kan gaya Orde Baru," tambah Jason Ranti.
2. Menyudutkan musisi independen dan berpihak pada industri besar
Dalam RUU Permusikan terdapat pasal yang mensyaratkan sertifikasi pekerja musik berpotensi untuk memarjinalisasikan musisi yang tidak sesuai dengan pasal ini.
Inilah yang dijelaskan oleh Pasal 10 yang mengatur distribusi karya musik.
RUU Permusikan dianggap tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri.
Pasal ini sangat berpotensi untuk memarjinalisasi musisi terutama musisi independen.
Menurut Jason Ranti, ketentuan ini hanya akan bisa dilakukan oleh industri besar.
Pasal ini menegasikan praktik distribusi karya musik selama ini dilakukan oleh banyak musisi yang tidak tergabung dalam label atau distributor besar.
"Ini kan curang," kata Jason Ranti.
"Referensi pembuatan RUU ini tidak paham gerakan dan napas kelompok musik bawah tanah," tambah Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa.
3. Memaksakan kehendak dan mendiskriminasi
Ada bagian yang dianggap sebagai cerminan pemaksaan kehendak dan berpotensi mendiskriminasi musisi.
Yaitu bagian ujian kompetensi dan sertifikasi dalam RUU Permusikan.
Untuk beberapa negara, praktik uji kompetensi bagi pelaku musik memang ada, tapi tidak ada satu pun negara di dunia yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi.
"Lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan atau opsional," jelas Mondo Gascaro.
Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.
4. Hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu diatur
Beberapa pasal yang ada di RUU Permusikan memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur.
Misalnya pada Pasal 11 dan 5 yang hanya memuat informasi umum tentang cara mendistribusikan karya yang sudah diketahui dan banyak dipraktikkan oleh para pelaku musik.
Serta bagaimana masyarakat menikmati sebuah karya.
Dua pasal ini dianggap tidak memiliki bobot nilai yang lebih sebagai sebuah pasal yang tertuang dalam peraturan setingkat Undang-undang.
Hal serupa juga ada di Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia.
Wilayah karya musik merupakan seni.
Baca: Didepan Anji Manji, Anang Hermansyah Buat Pengakuan Soal Uji Kompetensi Musisi di RUU Permusikan
"Seni itu sendiri merupakan bahasa, sehingga penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur," jelas Putri Chitara.
"Tujuan RUU ini jelas banget berpihaknya ke mana, yang mau dipadamkan jelas kebebasan berekspresi, berkarya, dan berbudaya serta manfaat ekonomi yang bisa dihasilkan dari situ oleh individu-individu," jelas Mondo Gascaro.
(Tribunnews.com/Natalia Bulan R P)