TRIBUNNEWS.COM - Belakangan, media sosial digegerkan dengan adanya akun Instagram bernama Indonesia Tanpa Feminis, @indonesiatanpafeminis.
Sesuai dengan namanya, akun Instagram itu dibuat untuk mengampanyekan gerakan melawan paham feminis di Indonesia.
Keterangan dalam akun Instagram tersebut tertulis: My body is not mine, Indonesia doesn't need feminism (tubuhku bukan milikku, Indonesia tak butuh feminisme).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.
Baca: Koalisi Aktivis Masyarakat Anti Korupsi dan Hoaks Minta KPK Kembali Buka Kasus Korupsi e-KTP
Munculnya akun Instagram tersebut menuai banyak pro dan kontra, baik dari kalangan perempuan maupun laki-laki.
Social media influencer, Gita Savitri Devi atau yang biasa dikenal Gitasav bersama suaminya, Paul Partohap pun menyampaikan opini mereka melalui unggahan video di YouTube.
Video berjudul Our views on @indonesiatanpafeminis | PagiPagi eps. 19 tersebut diunggah di kanal YouTube Gita Savitri Devi pada Senin (1/4/2019).
Dalam video tersebut, Gitasav dan Paul mendeklarasikan diri sebagai pendukung paham feminis.
Namun demikian, mereka juga menyarankan warganet yang sependapat dengan mereka untuk tidak menyerang akun Instagram @indonesiatanpafeminis dengan ujaran kebencian.
Di awal video, Gitasav juga menegaskan, mereka tak akan menjelekkan orang-orang yang sependapat dengan gerakan anti feminisme.
Pembahasan opini Gitasav dan Paul soal akun anti feminisme tersebut dimulai dengan memberi reaksi atas kiriman di akun Instagram @indonesiatanpafeminis.
Kiriman tersebut menunjukkan animasi seseorang yang tengah bingung harus masuk ke toilet laki-laki atau perempuan.
Gitasav dan Paul menilai, kiriman itu dikaitkan dengan kesalahpahaman, semua feminis setuju dengan LGBT.
Sebagai seorang feminis, Gitasav menegaskan, dirinya tak setuju dengan konsep LGBT.
"Kalau gue pribadi, gue itu nggak setuju dengan konsep LGBT itu sendiri. Karena gue itu muslim, kan. Itu tu kaya', somehow tidak sesuai dengan ajaran agama gue."
"Terus gue juga nggak setuju kalau gender itu fluid (terpilah, bercabang - red). Di sini konsepnya ya maksudnya, bukan orangnya," kata Gitasav beropini.
Gitasav mengaku, dirinya memiliki banyak teman LGBT.
"Kalau gue sih, temen gue yang LGBT banyak. They're nice people. I have no problem with them, we can still have conversation (mereka orang baik, dan aku tidak memiliki masalah dengan mereka, kita masih bisa ngobrol)," lanjutnya.
Perlu diketahui, Gitasav tinggal di Jerman sehingga memiliki banyak teman dari berbagai negara, bukan hanya orang Indonesia.
Tak hanya Gitasav, Paul juga menyampaikan opininya mengenai gerakan Indonesia tanpa feminis ini.
Paul menyampaikan pendapatnya mengenai penyebab adanya miskonsepsi yang menghaitkan feminis dengan LGBT.
"Dan menurut gue juga, kenapa feminis sering dikaitkan dengan LGBT karena memang gerakan feminis dan LGBT, keduanya adalah gerakan yang masih minoritas di Indonesia," pendapat Paul.
Paul menilai, sesama gerakan yang masih minoritas, biasanya saling membantu, sehingga memunculkan persepsi, orang yang pro feminis pasti pro dengan LGBT.
Baca: Gerakan Aktivis Reformis Bela Indonesia: Pemerataan Ekonomi Era Jokowi Berhasil
Video berdurasi 33 menit 22 detik tersebut secara keseluruhan berisi reaksi terhadap kiriman-kiriman akun Instagram Indonesia tanpa feminis.
"Ada nilai-nilai dari feminisme yang sebenarnya bisa berjalan bersama dengan ajaran agama Islam, gitu," kata Paul di menit ke 15.
Pendapat tersebut disampaikan Paul dalam menanggapi kiriman akun Indonesia tanpa feminis yang membahas kesetaraan gender yang dikaitkan dengan ajaran Islam.
Melalui Instagram story, seorang warganet pemilik akun @asghar.id bereaksi terhadap pendapat Gitasav dan Paul tersebut.
Instagram story tersebut kemudian dibagikan ulang oleh akun Indonesia tanpa feminis.
"Justru saya makin yakin, mas-mbaknya aja yang nggak pede sama ajaran Islam, terus akhirnya berdalih kalau ajaran di luar Islam (barat-sekuler) bagus juga kok.
Generasi buih lautan," tulis akun @indonesiatanpafeminis menilai Gitasav dan Paul.
Baca: Ketahui Penculikan Aktivis 98, Eggy Sudjana Pertanyakan Mengapa Jokowi Tak Hukum Agum
Beberapa perempuan di Jakarta turut dimintai pendapat oleh The Jakarta Post terkait adanya gerakan Indonesia tanpa feminis tersebut.
Frisanty Marisa, seorang karyawan swasta berusia 24 tahun di Jakarta mengatakan, dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran kelompok antifeminis di media sosial.
“Mereka memiliki pandangan yang salah tentang feminisme. Mereka puas dengan ketidakadilan yang dilakukan terhadap perempuan, ”katanya.
Rizqika Arrum, seorang sukarelawan berusia 23 tahun di sebuah organisasi nonpemerintah di Jakarta, berbagi pendapat dan mengatakan, gerakan itu tidak akan ada tanpa feminisme sejak awal.
"Fakta bahwa para antifeminis yang memproklamirkan diri ini mampu berkumpul dan menyuarakan aspirasi mereka berarti mereka menikmati keistimewaan yang dihasilkan dari puluhan tahun kemajuan dalam feminisme," katanya kepada The Jakarta Post.
Baca: Greta Thunberg: Remaja Swedia, Aktivis Iklim, dan Pemenang Nobel?
Wacana antifeminis telah mendapatkan daya tarik dalam beberapa bulan terakhir, terutama setelah kontroversi seputar RUU tentang kekerasan seksual.
RUU tersebut, yang telah dibahas oleh DPR sejak 2016, memicu kegemparan ketika mendapatkan momentum di akhir tahun lalu ketika kasus Baiq Nuril - korban pelecehan seksual di Nusa Tenggara Barat yang dihukum karena mencemarkan nama baik pelecehan yang diduga sebagai pelecehannya - terungkap.
Mereka yang menentang RUU itu menganggapnya sebagai pro-perzinaan dan mendukung orang-orang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Seorang aktivis dan direktur program dari Kelompok Dukungan dan Pusat Sumber Daya untuk Studi Seksualitas di Universitas Indonesia (UI), Nadya Melati, menganggap Indonesia Tanpa Feminis sebagai gerakan pinggiran yang hanya berdampak kecil terhadap kemajuan negara menuju pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
"Keragaman pemikiran adalah gejala dari demokrasi yang sehat. Selama kita fokus pada memperkuat wacana feminis kita dan menolak untuk memberi mereka sebuah landasan, saya tidak berpikir mereka akan menjadi banyak masalah," kata Nadya kepada The Jakarta Post.
Baca: Feminis Alice Schwarzer: Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Terjadi
Dia menyamakan kelompok itu dengan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (Indonesia Tanpa Kencan), yang katanya juga menggunakan topeng Islam untuk menegakkan gagasan absolutisme moral.
"Mereka menggunakan dalih agama sebagai senjata politik. Pada kenyataannya, banyak wanita muslim mendukung feminisme," katanya.
Dia mengatakan, dia berharap pemerintah akan segera meloloskan RUU kekerasan seksual untuk melindungi jutaan karyawan wanita yang rentan terhadap pelecehan dan pelecehan.
Indonesia telah melihat beberapa kampanye online dimulai dengan kata-kata “Indonesia Tanpa” dalam beberapa tahun terakhir.
Di antara yang pertama adalah "Indonesia Tanpa FPI", sebuah kampanye yang menyerang keberadaan Front Pembela Islam.
Belakangan, muncul kampanye balasan yang disebut “Indonesia Tanpa JIL”, yang merujuk pada Jaringan Islam Liberal.
Baca: Feminisme di Dunia, Apa Yang Kini Diperjuangkan Aktivis Perempuan?
(Tribunnews.com/Fitriana Andriyani)