TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Kebesaran nama Presiden Soekarno menjadi perhatian besar kalangan anak muda, terutama kalangan aktivis yang ingin mencari tahu sosok Soekarno dalam film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini.
Taruna Merah Putih, Jumat (20/12/2013) malam melakukan nonton bareng film Soekarno. Film Soekarno, yang boleh dikatakan sebagai tafsir sutradara Hanung Bramantyo atas Soekarno, yang kemudian menuai pro dan kontra.
Acara nonton bareng dimaksudkan untuk objektifikasi atas tafsir dari sosok bapak pendiri bangsa.
Sebagai tokoh besar, ada banyak nama sematan yang ditujukan kepada Ir. Soekarno. Soekarno misalnya bukan hanya dikenal sebagai proklamator, melainkan juga pejuang kemerdekaan, inspirator, intelektual, pemimpin besar Revolusi dan penyambung lidah rakyat.
Kebesaran nama Soekarno, pun membahana hingga ke belahan dunia.
Dari sudut pandang berbeda, Soekarno dilihat dan dipandang dari mana apapun. Ibarat "teks", Soekarno menjadi objek "pembaca."
Dapat ditafsirkan macam-macam. Dilihat secara objektif terhadap sosok Soekarno, maupun secara objektif terhadap tafsir Soekarno.
"Bagaimana kita mau kritik kalau nonton saja belum. Kita tonton dulu, setelah menonton, baru kita nilai secara objektif. Pro dan kontra, mengkritik itu biasa di alam demokrasi, dan harus objektif," kata Ketua Umum Taruna Merah Putih, Maruarar Sirait.
Sejumal organisasi serta tokoh pemuda ikut nonton bareng Film Soekarno. Antaral lain, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI).
Kemudian, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Hikmahbudhi dan Ansor. Sang sutradara, Hanung Bramantyo dan sang produses, Ram Punjabi, juga diundang khusus nonton bareng.
"Kita undang Hanung dan Pak Ram, kita bayarin mereka. Kemudian, teman-teman mahasiswa yang sudah nonton, bisa menyampaikan masukan dan kritiknya secara langsung kepada mereka," ujar Ara Sirait.
Ketua Umum KAMMI, Adriana, mengapresiasi film atas sosok yang selama ini menginspirasi generasi dan pergerakan kaum muda. Ia kemudian memberi catatan, film yang dianggap, banyak mereduksi ketokohan Soekarno.
Ketua Umum PMKRI, Lidya juga mengapresiasi film ini. Ia memberi catatan khusus ketika Soekarno, yang saat itu menjadi guru, memeluk Fatmawati, yang saat itu merupakan muridnya. Hal ini ia anggap tidak pantas disajikan.
Maruarar Sirait menambahkan, film ini lebih bisa disebut sebagai film roman, dibandingkan disebut film perjuangan.
Sebab, katanya, kisah-kisah romantisme Bung Karno dengan Bu Inggit Garnasih dan Bu Fatmawati sangat dominan dalam film ini.
Film ini, menurutnya, seakan-akan menggambarkan bahwa Kemerdekaan merupakan pemberian dan hadiah dari Jepang. Padahal, Ara menegaskan, kemerdekaan merupakan hasil jerih payah semua pejuang, dan itu direbut, bukan diberikan.
"Perjuangan Bung Karno saat di Ende NTT juga seharusnya mendapat porsi yang lebih, tidak hanya ditampilkan sekilas. Di Ende ini, selain Soekarno berinterkasi dengan tokoh-tokoh agama, juga merupakan tempat Soekarno menggali Pancasila," kritik Maruarar.
Di luar itu, Maruarar menilai ada pelajaran penting dari ketiga sosok yang ditampilkan dalam film ini. Soekarno yang intelektual-ideoligis, Bung Hatta yang intelektual-moderat, dan Sutan Syahrir yang tegas dan keras.
Dari sosok Bung Karno, lanjutnya lagi, kemudian bisa dipetik pelajaran bahwa kondisi sosial dan politik yang berkembang bisa melahirkan strategi yang berbeda.
"Apakah harus tegas menentang atau diplomatis-kooperatif. Kepada Belanda misalnya, Soekarno sangat tegas dan keras, sementara kepada Jepang cukup kooperatif. Dalam sejarah berikutnya, Soekarno juga sangat tegas menentang imperialisme dan kolonialisme baru yang dilakukan oleh lingkar negara-negara Barat," paparnya.