TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Artis asal Belanda, Zena van Steenkiste, memutuskan kembali ke negaranya setelah film “Annemie in Buitengewesten” yang akan dibintanginya mengalami penundaan shooting.
Belum ada penjelasan mengapa jadwal shooting film ini mundur.
Zena menggunakan pesawat Garuda, Jakarta (CGK) – Amsterdam (AMS), dengan nomor penerbangan GA 0088, Selasa (17/11/2015), pukul 23.00 WIB, dan tiba di Bandar Udara Internasional Schiphol, pagi harinya, Rabu, 18/11/2015, pukul 07.30 waktu setempat.
Artis film yang juga penyanyi ini, masih meneruskan perjalan dengan penerbangan setempat selama 35 menit menuju kota Düsseldorf, ibukota Negara Bagian Nordrhein-Westfalen, Jerman.
“Dari sini saya ke Venlo Limburg, kota di mana saya tinggal. Lewat jalan darat, tidak jauh dari Düsseldorf,” terangnya kepada sejumlah wartawan, menjelang keberangkatannya, di Terminal 2F Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Selasa malam (17/11/2015).
Zena van Steenkiste, adalah artis asal Venlo Limburg Nederland. Usianya baru 16 tahun.
Namun pemikirannya melampaui batas usianya. Ia penulis fiksi (novel), selain penyanyi dan pencipta lagu.
Menguasai 6 bahasa; Belanda, Inggris, Belgia, Jerman, Indonesia, dan bahasa daerah (Surabaya Jawa Timur). Kisah hidupnya memiliki kemiripan dengan sosok Annemie, wanita yang diperankannya dalam film produksi Seni Pemersatu Jiwa dan Noemi Pictures ini.
Zena didampingi ayah sekaligus manajernya, Leon Jozef Steenkiste, dan sutradara film ‘Annemie in Buitengewesten,’ Eddie Karsito. Terkait penundaan jadwal shooting, menurut sutradara film ini karena alasan teknis.
“Paling tidak kita punya waktu banyak untuk lebih mengeksplorasi dan mendalami kisah ini. Apalagi film ini kita representasikan sebagai film budaya antar bangsa (Indonesia-Belanda), multi kultur, dan film sejarah yang memiliki muatan edukatif,” papar Eddie Karsito.
Mundurnya jadwal shooting, kata Eddie Karsito, memungkinkan shooting perdana film ini, akan dilakukan di Belanda terlebih dulu.
“Ada beberapa riset yang akan kami lakukan di Belanda. Termasuk diantaranya melibatkan pergurun tinggi dan museum di sana (Belanda). Jadi dimungkinkan shooting kami mulai di kota itu (Venlo Limburg, Nederland),” terang sutradara yang juga wartawan senior, kelahiran Kisaran Asahan Sumatera Utara ini.
Cerita film ‘Annemie in Buitengewesten’ terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi pada era kolonial Belanda. Tentang orang Jawa yang menjadi buruh perkebunan di Sumatera Timur. Melahirkan peradaban baru (akulturasi budaya) menjadi ”Jawa Deli” atau ”Pujakesuma” (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Tentang cinta kasih abadi sang Noni, anak “Toean Keboen” dengan pemuda Jawa tampan, pemain Sandiwara tradisi (Ludruk), anak “koeli kontrak” di Keboen Goerah Batoe Asahan Sumatera Utara.
“Saya rasa ini adalah kisah cinta yang menakjubkan. Cerita berlangsung dalam kurun waktu yang berbeda; jaman penjajahan dan setelah Indonesia merdeka. Selama ini saya hanya mendengar cerita ini dari nenek saya di Belanda, tempat di mana saya dibesarkan. Saya memiliki ayah Belanda tetapi juga memiliki seorang ibu Indonesia, yang membuat saya tahu banyak tentang kedua negara,” tukas Zena, mengaku kisah hidupnya mirip sosok Annemie yang akan diperankannya.
Zena mengaku sangat menikmati selama tinggal di Indonesia, khususnya di Jakarta dan di Surabaya, kota kelahiran keluarganya dari garis ibu.
Waktu tersebut dimanfaatkannya untuk lebih banyak belajar tentang budaya Indonesia, khususnya Jawa.
“Beberapa bulan saya bersama Eddie Karsito dan menghabiskan seluruh hari dengannya. Dia bercerita banyak tentang film wonderful ‘Annemie.’ Dan saya tidak dapat menempatkan kata-kata betapa senangnya berhubungan dengan cerita ini. Tentang kisah luar biasa dan membiarkan saya menjadi bagian dari itu. Saya banyak belajar untuk ini. Berusaha menjadi Indonesia, berusaha menjadi Jawa,” ujar penyanyi dan penulis lagu ‘What’s Missing’ dan ‘Brave’ (music arranger Keith Martin) ini.
Sekilas Tentang Annemie
Dikisahkan dalam film, Annemie (22 tahun), adalah warga negara Belanda, mahasiswi Universiteit van Amsterdam, jurusan ilmu sejarah, seni dan budaya.
Ia datang ke Indonesia dalam rangka observasi melengkapi penyusunan tesis program S2 untuk mendapat gelar Magister Humaniora.
Annemie tertarik deskripsi budaya suku bangsa di luar Eropa yang masih tradisional dan merupakan sisa kebudayaan kuno.
Ia ingin meneliti berbagai adat-istiadat, sistem kepercayaan, struktur sosial dan kesenian dari berbagai suku yang tersebar di wilayah nusantara, dari masa sebelum dan sesudah penjajahan Belanda.
Tentang kolonialisme bangsa Eropa atas negara–negara di Afrika, dan Asia dalam usaha mencari sumber daya alam baru, khususnya rempah-rempah yang sangat dibutuhkan masyarakat Eropa pada saat itu.
Namun yang lebih menarik bagi Annemie, adalah kisah-kisah humanis dan romantik yang dialami Belinda van Dirck, neneknya (canggah atau piut), dimana semasa remajanya pernah tinggal di Asahan Sumatera Utara.
Lebih menarik lagi bagi Annemie, adalah kisah cinta terlarang Belinda van Dirck dengan pemuda Jawa tampan bernama Koesno. Koesno, adalah pemain Ludruk (Sandiwara tradisi Jawa Timur), putra dalang kondang seni wayang kulit, sekaligus pengrajin wayang kulit.
Semua kisah ini didengar Annemie, langsung dari mulut nenek canggahnya, sejak ia masih remaja, hingga Belinda van Dirck kini berusia 97 tahun dan masih hidup.
Cerita masa lalu Belinda van Dirck, ditunjang dengan beberapa bukti berupa foto-foto masa lalu dan surat-surat cintanya kepada Koesno, saat keduanya menjalin kisah asmara di daerah Keboen Goerah Batoe Asahan Sumatera Utara.
Cerita ini rupanya sangat memengaruhi pribadi Annemie, hingga dewasa. Annemie pun terdorong untuk lebih tahu dan belajar tentang Indonesia, khususnya wilayah dan budaya Asahan.