“Prenjak ini jenis burung yang hanya mau berkicau ketika ada pasangannya. Kalau sendiri dia diam. Seperti Diah yang ditinggalkan pasangannya, dia harus bekerja keras dan ekstra. Kalau pasangannya tidak meninggalkannya, mungkian Diah tidak perlu menderita seperti itu, bisa berkicau bersama,” tutur Wregas.
Ini juga salah satu yang mengantarkan Wregas menjadi pemenang Festival Film Cannes 2016 dengan kategori film pendek di Festival Film Cannes 2016, di Perancis.
Adegan demi adegan dibuat nyata. Baik itu scene yang menunjukkan alat kelamin sekalipun, walau bukan milik pemeran di film tersebut.
Wregas bekerja sama dengan model untuk mendapat gambar tersebut.
Karena menurutnya film adalah refleksi kehidupan nyata, bukan imitasi, itu yang ingin ia sampaikan kepada penontonnya.
Bukan berarti tidak ada kekhawatiran akan dianggap vulgar atau porno, karena memang film ini bukan ditujukan untuk itu.
Namun lebih sensitif pada keterkaitan antara feminisme, budaya dan situasi ekonomi yang dialami perempuan.
“Kalau yang saya kahawatirkan justru bukan pemerintah. Tapi ketika film ini semakin kuat diberitakan, justru malah ormas-ormas yang ribut. Mengira film ini porno karena memperlihatkan alat kelamin,” ujarnya.
Ia mengakui film ini bukan yang bisa dinikmati penonton Indonesia dengan budaya ketimurannya yang kental, justru cenderung Eropa sebagai pasar filmnya.
Sehingga ia tidak memaksakan filmnya harus ditonton di sini.
“Saya tidak memaksakan orang untuk menonton film saya. Ini memang lebih cocok untuk pasar Eropa dibanding Indonesia. Suka atau tidak itu tergantung selera yang menonton,” tutur Wregas.