TRIBUNNEWS.COM – Setelah aral melintang selama 89 tahun, kelompok sandiwara sunda Miss Tjitjih atau disebut Nji Tjitjih masih bertahan hingga saat ini.
Sayangnya, pamor Miss Tjitjih kini kian meredup, bahkan saat ini kelompok ini sudah tidak memiliki jadwal panggung lagi.
Ini tentunya berbanding terbalik dengan keadaan sebelumnya, ketika Miss Tjitjih yang tiap bulan paling tidak dua kali manggung.
Selain karena anggaran yang seret alias tak disokong Pemprov DKI Jakarta, Miss Tjitjih juga dinilai tak mampu mengikuti zaman.
Masih bisakah Miss Tjitjih bertahan atau sebaliknya? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Dalam peringatan ulangtahun ke-89 tahunnya, Miss Tjitjih menggelar pertunjukan.
Alkisah, Cakra Buana berhasil menggagalkan rencana pembunuhan terhadap Raja Suyono oleh Patih Pringgoloyo.
Raja akan dibunuh dengan racun yang dimasukan ke dalam minumannya. Namun Cakra Buana yang bernama lain Gagak Solo mengetahui niat jahat Patih Pringgoloyo.
Patih Pringgoloyo akhirnya ditangkap. Lalu Raja Suyono mengangkat Cakra Buana sebagai Patih. Pengangkatan ini menjadi peristiwa yang pantas dirayakan. Raja pun menggelar hiburan tarian.
Ditampilkanlah seorang penari kesayangan raja bernama Sulastri. Waktu itu Sulastri diperankan oleh Tjitjih.
Di sela gemulai tariannya memerankan Sulastri, tubuh Tjitjih terhuyung lalu roboh.
Tjitjih menghembuskan nafas terakhirnya di atas panggung. Itulah penggalan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih berjudul Gagak Solo pada 1936 di Cikampek.
Adegan itu dipentaskan ulang dalam sandiwara berjudul Napak Tilas Sri Panggung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) akhir April lalu.
Pertunjukan tersebut merupakan puncak perayaan ulang tahun ke-89 kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih. Ketua Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih, Syarifah Rohmah, mengatakan, Jumat di akhir bulan lalu menjadi panggung perdananya di tahun 2017.
Sebab sejak awal tahun, sama sekali tak ada kegiatan manggung.
“Kami nggak bisa manggung dari awal Januari 2017. Karena kami ingin ada kegiatan, baru juga beberapa bulan sudah kangen, mudah-mudahan berhasil mengadakan HUT Miss Tjitjih. Alhamdulillah kita mendapat tempat di GBB,” kata Syarifah.
Syarifah juga bercerita, sejak tahun ini pula Miss Tjitjih tak lagi menerima dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta.
Padahal dulu, sempat ada kucuran dana dimana para pemarin dibayar Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu sekali manggung.
Alhasil, Gedung Miss Tjitjih di Cempaka Baru, Jakarta Pusat, mangkrak. Padahal, tempat pertunjukkan itu sebetulnya juga menjadi tempat tinggal bagi 135 anak wayang, sebutan untuk para aktor.
Maka, agar bertahan hidup, larangan bagi anak wayang untuk melakukan kegiatan di luar kelompok sandiwara kini ditiadakan.
“Sekarang kondisinya berbeda, keadaan ekomi sekarang seperti ini, kalau kita tetap pertahankan konsep bapak saya yang tidak boleh keluar dari Miss Tjitjih, nggak boleh mendua pikiran, itu sudah susah kan. Sekarang dibebaskan yang penting tetap punya tanggung jawab terhadap Miss Tjitjih,” kata Syarifah.
Saat perayaan 89 Tahun Miss Tjitjih di Taman Ismail Marzuki, penontonnya membludak. Mereka asyik menyaksikan pertunjukan itu secara langsung. Sandiwara yang didominasi bahasa sunda ini dipentaskan sekitar dua jam.
Melihat banyaknya penonton, Syarifah ingin kelompok sandiwara tetap bertahan. Meski ia tahu, tak mudah.
“Kalau masalah bersaing kami mungkin ketinggalan. Karena kami memang tetap mempertahankan tradisi. Mungkin karena pemuda-pemuda sekarang banyak yang tidak menyukai tradisi. Dia senangnya yang modern,”kata Syarifah.
Kelompok sandiwara tradisional ini sadar, tengah bersaing dengan pertunjukan modern lain.
Sutradaranya, Imas Darsih, menyebut bukan hal mudah merangkul generasi muda. Apalagi kelompoknya tinggal di Jakarta yang masyarakatnya beragam.
Agar bisa bersaing, Imas akhirnya memodifikasi pertunjukannya dengan menggunakan bahasa sunda yang dicampur bahasa Indonesia.
“Kalau bahasa ibu itu direumbeuy atau dicampur. Tapi memang ada cerita juga yang dikhususkan ada dialek betawinya seperti Si Manis Jembatan Ancol, Halimah Pulang Kondangan, dan Setan Rawamangun di situ ada dialek bahasa betawinya. Itu hanya tuntutan cerita. Tapi sekarang tiap pertunjukan ibu coba dengan dicampur bahasa indonesia. Karena ibu ingin menjelaskan kepada anak-anak yang tidak mengerti bahasa Sunda karena Jakarta ini bermacam-macam suku. Walaupun orangtuanya Sunda asli tapi belum tentu anaknya mengerti bahasa Sunda. Itu yang ibu kejar,” kata Imas.
Cerita yang disuguhkan, kata Imas, lebih banyak menampilkan genre horor komedi. Sebab genre itu lebih diminati dibanding cerita kerajaan atau babad.
Budayawan Sunda, Hawe Setiawan, menyarankan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih mengubah strategi promosi yang masih konvensional, jika ingin terus bertahan. Sebab kini, segala sesuatunya menggunakan sosial media.
“Mungkin di promosinya perlu ada perubahan. Kalau di bentuk sandiwaranya tergantung kepada teman-teman yang sehari-hari mengelola Miss Tjitjih. Tapi yang paling penting strategi promosi dan pengemasan informasi. Anak-anak generasi baru yang punya perhatian terhadap Miss Tjitjih saya kira bisa membantu itu,” kata Hawe.
Selain promosi, Hawe juga mendorong Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih untuk berjejaring dan berkolaborasi, dengan kelompok sandiwara lainnya.
“Kalau kita bandingkan dengan Teater Sunda Kiwari yang berkedudukan di Bandung mereka punya satu program yang dilaksanakan secara reguler terus menerus setiap dua tahunan. Mereka membina penonton baru, khalyak baru dan juga memungkinkan lahirnya cerita-cerita baru yang ditulis pengarang sekarang. Kenapa tidak muatan lokal di sekolah sekali-sekali diajak nonton ke Miss Tjitjih,” kata Hawe.
Sementara, penggunaan bahasa Sunda dalam pertunjukan, menurut Hawe, justru jadi kekuatan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih. Sebuah identitas yang tak boleh dihilangkan.
“Tapi justru yang jadi menarik bahasa Sunda ini menjadi salah satu elemen terpenting menjadi kekuatan Miss Tjitjih dari dulu sampai sekrang. Ciri khasnya Miss Tjtjih itu teater dalam bahasa Sunda. Di Jakarta sekarang kan dimungkinkan, memang masyarakatnya majemuk, sebenarnya bahasa Ssunda Miss Tjitjih tidak terlalu tradisional. Berubah juga, bahkan dicampur dengan bahasa pergaulan yang sehari-hari. Jadi saya kira bagi masyarakat dari luar lingkungan penutur pada dasarnya masih bisa menikmati pertunjukan,”kata Hawe.
Penulis : Gilang Ramadhan/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)