TRIBUNNEWS.COM - Teater Koma menggelar pementasan terbarunya dengan judul Goro-Goro: Mahabarata 2. Pementasan itu didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation.
Lakon ini merupakan produksi ke-158 Teater Koma dan juga sebagai pentas besar pertama Teater Koma di tahun 2019, yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki mulai 25 Juli hingga 4 Agustus 2019.
Goro-Goro: Mahabarata 2 ini berkisah tentang Semar dan Togog yang ditugaskan untuk turun ke Marcapada dan menghamba kepada raja-raja di sana.
Semar menjadi panakawan para ksatria yang membela kebenaran. Sedang Togog menghamba kepada para raksasa penyebar kejahatan.
Baca: Slamet Rahardjo: Untuk Orang Sebaik Wendo, Kita Tidak Perlu Bersedih
Kini, Semar mengabdi kepada Raja Medangkamulyan, Prabu Srimahapunggung. Togog menghamba kepada Raja Raksasa Kerajaan Sonyantaka, Prabu Bukbangkalan.
Di suatu masa, karena cintanya ditolak, Batara Guru mengutuk Dewi Lokawati menjadi tanaman padi, dan padi itu dianugerahkan kepada kerajaan Medangkamulyan untuk jadi bahan makanan utama Wayang Marcapada.
Baca: Waktunya Main Gelar Teater Musikal Negeri Uranus
Ketika Medangkamulyan panen padi melimpah-ruah, Sonyantaka malah diserang paceklik, maka Bukbangkalan sangat bernafsu merampok Medangkamulyan.
Apakah Sonyantaka akan berhasil menyerang Medangkamulyan?
"Goro-Goro: Mahabarata 2 akan mengajak penonton untuk membayangkan dan memikirkan seperti apa pemimpin yang diinginkan, pemimpin yang mencintai perdamaian demi kenyamanan dan kemakmuran bersama atau justru yang mencintai pertikaian demi meraih kekuasan tertinggi,” ujar Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara Goro-Goro: Mahabarata 2, dalam keterangan rilis.
Untuk pertama kalinya, Slamet Rahardjo Djarot ikut berperan dalam pementasan Teater Koma. Aktor senior pemenang Piala Citra dan dedengkot Teater Populer ini berperan sebagai Batara Guru.
Menurut Slamet Rahardjo, kembali ke panggung teater ini ibarat pulang kampung. Sebab, ia pribadi terlahir dari panggung teater.
Ia juga menilai pentas teater memiliki nilai tersendiri karena interaksi dengan penonton dan peran yang langsung direkam oleh mata penonton, bukan teknologi kamera.
"Bermain terater ini menjadi detoks diri untuk mengembalikan inspirasi dan kesegaran berekspresi,” ujar Slamet Rahardjo Djarot.