“Belum sah menjadi pemimpin di negeri ini kalau belum mampir di Mata Najwa,” ungkap Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa. Program talkshow ini berusia 10 tahun pada November 2019 mendatang. Di sesi Talks hari kedua gelaran Playfest 2019, Najwa membagikan pengalaman satu dekade Mata Najwa.
“Awalnya saat diminta membuat program sendiri, ada rasa kikuk, karena atribusi pakai nama sendiri. Apakah artinya kalau Mata Najwa gagal, yang gagal itu Najwa? Kalau tidak ada sponsor, apakah programnya tidak menarik?” kenang Najwa. Episode pertama Mata Najwa mengudara di Metro TV dengan judul “Dunia dalam Kotak Ajaib.”
Tim Mata Najwa merancang program ini untuk ruang diskusi dan kritik semua pihak, sehingga episode pertama harus dimulai dengan mengkritik industri televisi.
Setelah 10 tahun berjalan dan kini ditayangkan di Trans7, Najwa bisa mengenali tiga isu krusial yang selalu dibahas di Mata Najwa. “Anti korupsi, toleransi, dan partisipasi. Tiga isu itu jadi tantangan terbesar, karena diikat dan terikat oleh politik,” beber Najwa.
Dalam 10 tahun terakhir, menurut Najwa, pembicaraan tentang politik makin biasa dan semakin jamak. “Saya ingat penonton Mata Najwa di awal-awal itu bapak-bapak pensiunan. Sekarang mampir ke minimarket penjaganya menyapa saya dan bahas Mata Najwa. Anak-anak SMA dan SMP sekarang sudah nonton Mata Najwa. Politik jadi pembicaraan sehari-hari dalam 10 tahun terakhir. Tapi apakah itu berarti kualitas politik kita juga meningkat?” tanya Najwa.
Bagi Najwa, mewawancarai politisi membutuhkan pendekatan khusus. “Pemandu bincang-bincang politik bukan hanya mengajukan pertanyaan tetapi juga menguji pernyataan”.
Kasus paling epik dalam politik Indonesia menurut Najwa adalah Setya Novanto. “Tindakan elit (politk) yang sebetulnya berupa kejahatan tetapi akhirnya termaklumkan, dianggap normal. Di saat yang sama ada kasus hukum yang menimpa rakyat kecil yang tidak berdaya.”
Najwa memberi contoh episode “Kasta Hukuman” yang tayang tanggal 14 Agustus 2019 lalu. Salah satu kasus yang dibahas adalah empat pengamen yang menjadi korban salah tangkap dengan tuduhan pembunuhan tahun 2013 lalu. Upaya mereka menuntut ganti rugi pun kandas di pengadilan.
Sementara Setya Novanto yang tersangkut korupsi e-KTP bisa lolos dari proses hukum karena drama “tabrak tiang”, mendiami sel penjara mewah, bahkan bisa jalan-jalan makan nasi Padang meski masih berstatus tahanan.
“Tugas jurnalisme bukan hanya wawancara elit (politik) tetapi memberi panggung bagi suara-suara yang terpinggirkan. Itu adalah tanggung jawab profesi. Kami (tim Mata Najwa) percaya kalau ada kasus krusial, harus dikawal,” ujar Najwa.
Ia memberi contoh saat Mata Najwa mengawal mafia bola. Menurutnya, tidak ada dalam sejarah mafia bola bisa dibawa ke polisi. Tapi tim Mata Najwa mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi lalu membawanya ke polisi. “Judul ‘PSSI Bisa Apa’ itu tidak lagi penting. Yang penting, kita bisa apa? Apa yang bisa kita lakukan di Mata Najwa untuk negeri ini.”
Itu sebabnya Mata Najwa akhirnya tidak berhenti di program talkshow. Mata Najwa memiliki komunitas Mata Kita,. Terbentuk kurang dari dua tahun lalu tetapi anggotanya sudah mencapai 190 ribu orang dari seluruh Indonesia, yang didominasi anak-anak muda.
“Kami percaya buah terbesar dari program televisi ketika suara-suara yang tercipta bisa memberi aksi nyata. Komunitas Mata Kita bergerak di daerah masing-masing untuk memberikan solusi lokal atas permasalahan global.”
Playfest juga merupakan bagian dari perjalanan ini. Roh Playfest merupakan roh yang sama yang diterapkan di Mata Najwa.
“Mengajak anak-anak muda untuk bikin serdadu sendiri. Kita meng-upgrade diri, belajar dengan cara bersenang-senang, tidak hanya jadi penikmat konten tapi juga pembuat konten. Tidak apa-apa sekali-sekali kontennya receh tapi harus tetap menarik. Kita sama-sama punya kegelisahan dan mimpi tentang negeri ini. Insya Allah mimpi itu bisa digerakkan lewat usaha dan tangan-tangan kita semua. Terima kasih telah menjadi bagian dari 10 tahun Mata Najwa,” tutup Najwa.(*)