TRIBUNNEWS.COM - Garin Nugroho berhasil meraih delapan Piala Citra di ajang Festifal Film Indonesia (FFI) 2019 lewat karyanya 'Kucumbu Tubuh Indahku'.
Garin Nugroho dilempari pertanyaan soal alasan ending filmnya yang begitu gelap.
Ia lantas menjawab berbagai pertanyaan tersebut saat hadir di telewicara dengan Rosianna Silalahi.
"Karena kalau tidak berdarah, saya tidak merasakan menjadi manusia," tutur Garin Nugroho yang Tribunnews kutip melalui tayangan YouTube Kompas TV, Kamis (12/12/2019).
Sutradara film tersebut menambahkan apabila tidak pernah merasakan kekerasan, bagaimana dapat mengerti arti anti kekerasan?
Ia lalu menegaskan di periode-periode pembuatan film era sekarang ini, harus disadari bahwa film memiliki peran yang begitu banyak.
Film Dianggap sebagai Panutan Moral
Film 'Kucumbu Tubuh Indahku' sempat mendapat penolakan di berbagai tempat.
Namun akhirnya, film tersebut membuat nama sang Sutradara dihargai di rumah sendiri.
Pro dan kontra bermunculan terkait kelahiran film 'Kucumbu Tubuh Indahku'.
Menurut Garin Nugroho, di Indonesia ini ada persoalan besar dalam menginterpretasikan sebuah film.
"Di Indonesia itu, film selalu dianggap sebagai panutan moral. Itu kesalahan besar," tutur Garin Nugroho.
Di acara yang dipandu oleh Rosianna Silalahi, Garin menuturkan karya film dapat merepresikan kenyataan, menggugat, merepresikan visi sutradara, membuka ruang diskusi hingga memberi ending yang gelap.
Ending yang gelap tersebut agar orang merasakan kegelapan tersebut, lalu dapat mempelajari sesuatu dari karya film.
"Misalkan, film kekerasan, orang mengerti akibat kekerasan itu," katanya.
Penulis buku Seni Merayu Masa itu kembali mengatakan, dilema yang terjadi di Indonesia ini adalah film dianggap sebagai panutan moral.
"Ini kesalahan yang kemudian merembet. Misalkan di KPI lah, merembet, film menjadi semacam buku untuk segala sesuatu yang bernilai bagus diendingnya," jelasnya.
Kucumbu Tubuh Indahku Sabet Piala Citra
Film kontroversi Kucumbu Tubuh Indahku berhasil sabet delapan piala citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2019.
Sutradara Film Kucumbu Tubuh Indahku, Garin Nugroho mengaku dirinya kali ini dihargai di rumah sendiri.
Pernyataan tersebut disampaikan Garin Nugroho dalam acara Rosi yang kemudian diunggah oleh kanal YouTube KompasTV, Kamis (12/12/2019).
Diberitakan Tribunnews sebelumnya, Garin Nugroho mengungkapkan selama 35 tahun berkarya di dunia film dan tiga kali memenangkan penghargaan sebagai best director di luar negeri, baru kali ini karyanya mendapat penghargaan di dalam negeri.
"Ya ini menyenangkan ya, kalau film terbaik sudah pernah. 'Cinta Sepotong Roti' itu film terbaik, tapi kalau sutradara itu walaupun sudah tiga kali best director di luar negeri tapi di dalam baru pertama kali," ujar Garin.
Menurut Garin Nugroho, FFI layaknya sebuah rumah bagi pembuat film di Indonesia.
Sehingga saat dirinya berhasil memperoleh penghargaan di ajang FFI 2019, itu sangat menyenangkan.
"Ya senang, karena kembali ke rumah sendiri saja dan memang di tengah situasi kontroversi. Oleh karena itu, salutlah pada FFI yang berani memilih film ini," jelas garin Nugroho.
Garin menyatakan, FFI telah membuka ruang publik untuk mendiskusikan film Kucumbu Tubuh Indahku.
"Artinya berani membuat ruang publik untuk mendiskusikannya dengan tema-tema yang sensitif itu suatu hal yang harus dihargai," ungkapnya.
Diketahui, sebelum penayangannya film Kucumbu Tubuh Indahku banyak menuai penolakan dari berbagai pihak.
Sebagai sutradara, Garin Nugroho juga memperoleh banyak hujatan.
Bahkan sempat ada petisi untuk menolak penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku karena dianggap film LGBT.
Garin Nugroho menanggapi dengan santai soal pro kontra tersebut karena dirinya mengaku memang film buatannya hampir semua sensitif.
"Tapi yang paling penting film ini telah lolos sensor. Artinya telah memenuhi prosedur hukum, pro kontra adalah biasa tapi yang menentang harus juga melakukan prosedur hukum," papar Garin Nugroho.
Bagi Garin, masyarakat tidak boleh berlaku sebagai pengadilan untuk melarang dan mencegah film ini tayang, karena film ini sudah lolos sensor.
"Kontrovesi dan pro kontra adalah wajar dalam negara demokrasi, tapi masyarakat jangan berperan sebagai lembaga penegak hukum," jelas Garin Nugroho.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Nanda Lusiana Saputri)