News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penghinaan di Media Sosial

Fakta Sidang Kedua Kasus Ikan Asin,Tangisan Anton Medan Dukung Pablo Hingga Dugaan Kejanggalan Kasus

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Trio terdakwa kasus ikan asin, Galih Ginanjar, Pablo Benua, dan Rey Utami menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019). Galih Ginanjar, Pablo Benua, dan Rey Utami didakwa melakukan pencemaran nama baik Fairuz A Rafiq di media sosial dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat 1, Ayat 3 Jo Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta pasal 310 dan pasal 311 KUHP dengan ancaman hukumannya lebih dari 6 tahun penjara. Tribunnews/Herudin

Pembacaan eksepsi dilakukan oleh para kuasa hukum secara bergantian. Mereka menyampaikan sejumlah kejanggalan atas dakwaan yang disusun oleh JPU.

Pertama yakni soal lokasi persidangan yang dilakukan di PN Jaksel. Padahal, lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) yakni rumah yang digunakan sebagai studio milik Pablo Benua dan Rey Utami masuk dalam kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Seharusnya, perkara 'ikan asin' tersebut harus disidangkan di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat.

Tak hanya itu, para saksinya pun juga berdomisili di daerah sana. Mereka meminta agar dakwaan kepada kliennya tersebut agar diperhatikan kembali.

Keanehan kemudian muncul, seperti yang diungkapkan pengacara Galih Ginanjar, Salahudin. Pihaknya mempertanyakan

"Dakwaan itu mengandung unsur keragu-raguan dan kesewenang-wenangan jaksa. Pertama yang kami soroti yakni soal TKP di Cibinong. Seharusnya, di Kejari Cibinong. Tapi dipaksakan di Jakarta Selatan. Maka dari itu kami menggunakan hak mengajukan keberatan," ungkap Salahudin.

"Kedua tentang delik perbuatan dalam tuduhan pelanggaran UU ITE. Dalam perkara ini tidak ada laporan pengaduan oleh saksi korban. Yang ada hanya laporan dari polosi. Sehingga menurut keputusan dari Mahkamah Konstitusi, maka perkara ini harusnya tidak dilanjutkan karena tidak ada pengaduan. Itu untuk delik ITE ya," imbuhnya.

Dengan dibacakannya eksepsi tersebut, tim kuasa hukum meyakini majelis hakim akan mempertimbangkannya dengan cermat.

Di sisi lain, ia juga menyoroti sikap JPU yang enggan memberikan tanggapan langsung melainkan meminta waktu untuk menanggapi secara tertulis. Hal tersebut, kata Salahudin, bisa menjadi gambaran bagaimana dakwaan yang disusun oleh JPU lemah dan dapat dibantah.

"Jaksa kan yang buat dakwaan, kalau merasa benar. Dia nggak ragu dengan dakwaannya. Dia kan minta waktu jawaban tertulis. Kalau mau tegas dan merasa benar harusnya bilang aja tetap pada dakwaan saya. Itulah jaksa yang profesional. Tapi dia kan minta waktu buat menanggapi," ujarnya.

Salahudin dan tim kuasa hukum meyakini, kasus yang menjerat Galih Ginanjar terlalu dipaksakan. Apalagi dengan melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada. Ia pun optimistis majelis hakim bisa mengabulkan eksepsi yang diajukan.

"Kita meyakini sampai sejarang Galih Ginanjar tidak bersalah. Soal eksepsi, saya katakan tidak jarang eksepsi dikabulkan. Tergantung nanti hakim bagaimana. Tentunya harus cermat. Kami yakin majelis hakim objektif dalam menilai masalah ini," tandasnya.

Hakim menunda persidangan pada minggu depan, Senin (13/1/2020) dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini