Laporan Wartawan Tribunnews.com, Cecep Burdansyah
TRIBUNNEWS.COM - Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun, telah berpulang aktor legendaris Mohamad Yoyon Sonjaya yang akrab disapa Kang Yoyon. Adik mantan Menteri Dalam Negeri era Orde Baru, Yogie S. Memet itu, mengembuskan napasnya di kediamannya, Jalan Terusan Sukamulya No 1, Pasteur, Kota Bandung, Kamis (13/2/20) pukul 15.20.
Almarhum akan dimakamkan Jumat (14/2/20) di Taman Pemakaman Umum (TPU) Sirna Raga. Berangkat dari rumah duka jam 09.00.
Kepergian Yoyon meninggalkan duka mendalam bagi seniman, terutama seniman yang ada di Kota Bandung. Hingga akhir hayatnya, Yoyon salah satu aktor yang setia di dunia teater. Bahkan hidupnya rela melajang.
Sahabat dekatnya, perupa Herry Dim menyebutkan, Kang Yoyon sudah agak lama menderita sakit, yaitu sesak napas dan diabet. Namun yang paling berat, sesak napas membuat aktor kelahiran Cikalong Wétan, Bandung, 28 Agustus 1937, itu harus mengenakan selang oksigen ke mana-mana.
"Loyalitas Kang Yoyon semua orang tahu. Meskipun tubuhnya diselang oksigen, ia masih keliling bermain teater," kata suami penari Ine Arini ini, saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (13/2/20) sore. "Ia masih sanggup dalam 'Musuh Masyarakat', karya Hendrik Ibsen," lanjut Herry.
Menurut Herry, di kalangan seniman sering menyebutkan, Kang Yoyon itu obatnya main teater. Soalnya, katanya, ketika beraksi di panggung, tubuhnya prima, pikirannya masih terang, dan vokal bicaranya masih kuat.
"Menurut cerita sutradara teater Fathul Husen ke saya, Kang Yoyon tiap tengah malam menyalakan lilin di kamarnya, dan membayangkan ia sedang bermain teater," katanya.
Meskipun mempunyai saudara pejabat tinggi, seperti kaknya Yogie SM yang jadi Gubernur Jabar dan Menteri Dalam Negeri, lalu adiknya Tuti yang jadi Bupati Majalengka, Yoyon selalu menolak bantuan saudaranya. Ia sama sekali tak mau ketergantungan.
"Sama seniman juga ia tak pernah meminta, tapi kita mengerti dan membantunya," kata Herry.
Di mata budayawan Hawe Setiawan, Kang Yoyon adalah aktor teater, penyair, dan jurnalis radio yang tangguh.
"Ia mampu mengarungi perubahan zaman dengan tetap berpegang pada nilai-nilai yang diyakininya. Kemerdekaan berekspresi, aspirasi demokrasi, nalar dalam kebudayaan, dan solidaritas kemanusiaan, saya kira, turut menjadi jangkar filosofis yang selama ini jadi pegangannya," kata Hawe pada Tribunnews.com
Kata Hawe, ia aktor tangguh yang berani miskin dan sanggup bertahan sendirian, di tengah kegelapan Orde Baru yang mencengkram. Bahkan, ia juga turut menjadikan radio sebagai saluran ekspresi perlawanan, termasuk mengkritik kebijakan kakaknya.
Penyair Etti RS menyebutkan, Kang Yoyon menjadikan teater sebagai istrinya. Dalam pertemanan, ia pun perhatian. Contohnya ketika Kang Ajip hampir pingsan saat peresmian perpustakaannya. Saat itu Kang Yoyon hadir.
"Malam harinya Kang Yoyon nelepon saya dan menanyakan Perkembangan Kang Ajip. Beliau nelepon bukan hanya sekali saja, sambil berpesan 'Kade nya kudu dijaraga. Mun aya nanaon, Akan bejaan nya (tolong ya jaga Ajip sama semua, kalau ada apa-apa, telepon saya)" katanya.
Pendiri teater Tujuh Damar, Asep Supriatna yang pernah sepanggung dengan Kang Yoyon, menyebutkan, Kang Yoyon aktor yang jago improvisasi.
"Kalau saya salah dialog, dia improv. Dan luar biasa hasilnya," katanya.
Berdasarkan Ensikopledi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, terbitan Pustaka Jaya, Kang Yoyon pertama kali main drama dalam "Di Langit Ada Bintang" karya Utuy T. Sontani pada 1955 ketika masih duduk di SMA.
Lalu Ketika Studiklub Teater Bandung (STB) didirikan 1958, ia terpilih menjadi Sekertaris Umum. Lakon yang pernah dimainnya, yaitu beberapa produksi STB antara lain "Ayub" karya Archibald McLeish (1959), Penggali Intan karya Kirjomulyo, Paman Vanya karya Anton Chekhov (1961), Melalui Secangkir Teh karya Ralph Wa-therspoon dan L.N. Jackson (1962), Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin A. Quintero (1971), Karto Luwak karya Ben Johnson (1973), dan banyak lagi.
Menurut ensiklopedi susunan Ajip Rosidi dan kawan-kawan itu, Mei 1979 Yoyon diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Pusat Pemberitaan PRSSNI Jawa Barat, tapi kemudian dipecat November 1991 karena dianggap bersalah menugaskan reporter radio menyiarkan laporan tentang kegiatan para mahasiswa dan pemuda di Bandung yang aktif menentang Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).
Kang Yoyon pun pernah dilarang oleh aparat kekuasaan melakukan siaran di Radio Mara selama dua tahun. Menjelang pemerintah memberangus majalah Tempo dan DeTik Juni 1994, Yoyon terus memonitor siaran radio-radio asing mengenai situasi penerbitan pers di Indonesia seperti BBC, ABC, VOA, Deutsche Welle, Radio Hilversum dan CNN.
Hasilnya rekaman 39 kaset berduras 90 menit, yang oleh Team Redaksi Institut Studi Arus Informasi (ISAIO ditranskripsikan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Breidel di Udara (1996). Yoyon memang termasuk salah seorang pendiri ISAI. (cecep burdansyah)