TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR- Tim penasihat hukum terdakwa I Gede Ari Astina alias Jerinx akan melaporkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar ke Mahkamah Agung.
Majelis hakim kasus pencemaran nama baik IDI Kacung WHO ini dianggap melakukan pelanggaran Undang-Undang dengan memaksakan persidangan kasus Jerinx dilakukan secara teleconference atau online.
"Masih ada cara untuk menjamin protokol kesehatan dalam sidang offline, hakim melakukan tindakan pelanggaran, kami juga akan laporkan ini ke Mahkamah Agung, walaupun Mahkamah Agung menerima atau tidak, kami mau tegaskan," kata salah satu penasihat hukum Jerinx, Sugeng Teguh Santoso di kantor Ditreskrimsus Polda Bali, Kamis (10/9/2020).
Pantauan Tribun Bali, meskipun terdakwa Jerinx dan tim penasihat hukumnya memutuskan untuk walk out dari persidangan, tapi pihak kepolisian dan para petugas dari Kejaksaan terus memaksa Jerinx dan kuasa hukumnya kembali ke persidangan.
"Silahkan kembali masuk ke ruang sidang," kata salah satu pejabat di Ditkrimsus Polda Bali.
"Oh tidak bisa, apa hak Anda? Anda bukan aparatur sidang, Ibu tidak ada kewenangan untuk itu," ujar tim penasihat hukum Jerinx
Suasana tegang pun terjadi. Kendati Jerinx dan tim kuasa hukumnya telah meninggalkan sidang, namun Majelis Hakim tetap memaksa membacakan surat dakwaan.
Sugeng mengatakan, pihaknya bakal menegaskan ke Mahkamah Agung agar dalam proses persidangan tidak menggunakan pendekatan arogansi dan kekuasaan atas penegakan hukum dan keadilan.
Penasihat hukum menilai bahwa adanya pendekatan kekuasaan dalam persidangan Jerinx ini.
"Kami tidak mengenal sidang in absentia, jadi pencarian keadilan itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan penangguhan penahanan, atau mengabulkan sidang offline," kata advokat yang pernah ikut dalam tim kuasa hukum Jokowi dalam perkara Pilpres 2014 silam itu.
Advokat yang terkenal dengan julukan Sang Pembela ini menilai Majelis Hakim dalam persidangan Jerinx melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurutnya, SKB (surat kesepakatan bersama) itu bukanlah produk hukum.
"Ini jadi pendekatannya adalah pendekatan kekuasaan. Mohon diperhatikan. Ini pendekatan kekuasaan yang digunakan dalam proses persidangan. Hukum memastikan, KUHAP memastikan persidangan yang adil. SKB bukan hukum, masih ada cara untuk menjamin protokol kesehatan, hakim melakukan tindakan pelanggaran," kata advokat jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1991 itu.
Pria yang juga selaku Sekjen Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) kubu Luhut Pangaribuan ini menambahkan, bahwa pihaknya tegas menolak persidangan online dan semua argumentasi sudah disampaikan dalam sidang.