TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Film Ungu Violet adalah pekerjaan pertama Rako Prijanto menjadi seorang sutradara, setelah enam tahun sebelumnya menjadi penulis skenario.
Setelah didapuk menjadi sutradara pertama kali dalam Ungu Violet, Rako Prijanto langsung mengikrarkan diri bahwa industri perfilman adalah passionnya.
"Saya merasa film dunia magic. Sejak kecil nonton film, ya kerekam semua. Ya saya mulai yakin film adalah passion saya," kata Rako Prijanto saat berbincang di Podcast Kinari di kantor redaksi Wartakotalive.com, Kamis (26/5/2022).
Baca juga: 20 Tahun Jadi Sutradara, Rako Prijanto Mengaku Cinta Pertamanya Bukan Pada Istri Tapi Film
Meski pembelajarannya singkat, Rako tak menampik ia membuktikan diri layak menjadi seorang sutradara lewat film perdananya Ungu Violet.
"Semua pembelajaran film larut begitu saja. Padahal saya cuma baca buku dan bedah film aja sebelum perdana jadi sutradara," ucapnya.
"Ya ini gua, tidak bisa diterangkan lah. Saya gak pernah bermimpi jadi sutradara dan perfilman," sambungnya.
Pria berusia 49 tahun tersebut mengungkapkan, Rudi Soedjarwo hingga Mira Lesmana lah yang mengantarkannya terlibat dalam industri perfilman.
Banyak yang beranggapan bahwa sutradara adalah profesi yang sulit dicari keuntungannya. Hanya saja Rako membantah semuanya.
"Semua balik ke bisnis plan. Resiko bisa dihitung dari awal. Industri sudah reguler berjalan, ada statistik. Ada kecendrungan musim dalam industri ini, jadi semua bisnis bisa dihitung," jelasnya.
"Yang rugi adalah teman sineas punya semangat tinggi bikin film home industry tanpa ada pengalaman dan gak tau market, mejadian ya merugi," tambahnya.
Rako menegaskan industri perfilman menguntungkan dari segi properti. Kedepan pun diyakini dirinya akan semakin bagus.
Platform digital dan bioskop bisa semakin memajukan industri perfilman Indonesia, hanya saja wadah pertunjukannya saja yang berbeda.
"Jangan sampai OTT memakan industri layar lebar dan harus diwaspadain. Harus dilihat jeli," ungkapnya.
Rako Prijanto menurut pengalamannya, sebuah karya film dan OTT harus dibuat dalam bentuk berbeda agar menjadi tontonan yang menarik.
"Film layar lebar dan OTT harus dibuat berbeda, tidak boleh sama," ujar Rako Prijanto.