Novel dengan halaman sejumlah 274 itu mendapat apresiasi yang besar dari masyarakat Indonesia.
Baca juga: SOSOK Dian Sastro: Aktris yang Awali Karier sebagai Gadis Sampul, Tenar Berkat Film AADC
3. Mengangkat Isu Feminisme dan Industri Rokok
Novel Gadis Kretek yang ditulis oleh Ratih Kumala secara mendetail, membicarakan budaya merokok dan industri kretek di Indonesia.
Dalam versi novel, penceritaan dilakukan oleh narrator yang berbeda dengan mengambil latar dan perspektif yang berbeda pula.
Kisah cinta para tokoh di dalam novel menjadi relevan, karena hubungannya dengan paparan mengenai industri kretek yang menjadi kerangka narasinya.
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai perempuan yang menjadi pusat perkembangan industri rokok kretek.
Penempatan tokoh perempuan yang sentral dalam industri rokok merupakan hal yang penting untuk dibicarakan, mengingat industi rokok dan budaya merokok pada umumnya masih merupakan budaya laki-laki.
Seorang pengusaha rokok bernama Djagad membuat iklan rokok dengan merk Garwo Kulo di kota M.
Nama tersebut diberikan agar para lelaki selalu ingat akan istri di rumah yang mungkin jarang dandan, pakaiannya kedodoran, dan cerewet.
Namun, rokoknya yang laris itu harus gulung tikar karena Djagad ditangkap dalam huru-hara PKI tahun 1965.
Pengusaha rokok itu ditangkap, disiksa, dan diinterogasi karena kemasan rokoknya berwarna merah, yang dianggap sebagai warna PKI.
Ia juga dituduh terlibat dengan PKI karena undangan pernikahan anaknya yang ditemukan di percetakan yang juga mencetak keperluan PKI.
Cerita romansa dalam Gadis Kretek mengulas hubungan pria bernama Raja (yang dibaca Raya) mengisap rokok kretek "Tingwe" hasil lintingan Jeng Yah.
Rokok kretek lintingan Jeng Yah dianggap istimewa karena terasa manis berkat air ludahnya yang digunakan untuk merekatkan lintingan tembakau dan cengkeh.