Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Alivio Mubarak Junior
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menanggapi dugaan Malaysia menjiplak lagu Halo-Halo Bandung.
Sebagaimana diketahui, lagu Halo-Halo Bandung ciptaan Ismail Marzuki diubah liriknya dan judulnya menjadi Hello Kuala Lumpur.
Adapun lagu Hello Kuala Lumpur telah diunggah di kanal YouTube Malaysia dengan nama Lagu Kanak TV.
Padahal, lagu Halo-Halo Bandung pertama kali diumumkan pada 1 Mei 1946 dan saat ini telah tercatat DJKI Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor permohonan EC00202106966.
Perihal ini, Dirjen KI, Min Usihen mengatakan, apabila ada orang maupun pihak lain yang mengambil musik atau pun mengubah lirik dari suatu karya lagu tanpa meminta izin dan tidak mencantumkan nama penciptanya, maka hal tersebut patut diduga sebagai bentuk pelanggaran hak cipta atas hak moral.
Baca juga: Malaysia Plagiat Lagu Halo Halo Bandung, Apakah Bisa Dituntut? Begini Penjelasan Pengamat
Kemudian katanya, apabila lagu tersebut diunggah ke platform digital tentunya tindakan itu juga akan merugikan pencipta dan pemegang hak cipta baik dari sudut pandang hak moral maupun hak ekonomi.
Apalagi perlindungan hak cipta berlaku universal di seluruh negara yang telah meratifikasi Konvensi Bern.
Termasuk Indonesia yang juga merupakan anggota Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Berne Convention For The Protection Of Literary And Artistic Work dan telah diundangkan pada tanggal 7 Mei 1997.
"Mengacu pada ketentuan Pasal 5 Konvensi Bern, maka Karya Cipta lagu Halo Halo Bandung yang diciptakan Ismail Marzuki secara otomatis dilindungi di seluruh negara anggota Konvensi Bern yang sampai saat ini berjumlah 181 negara," kata Min, dikutip dari siaran pers kepada Tribunnews, Kamis (14/9/2023).
"Termasuk di Malaysia sebagai anggota konvensi Bern atas hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta/Pemegang Hak Cipta atas lagu tersebut," lanjutnya.
Kendati demikian, Min menjelaskan, perlu dipahami pula bahwa dalam upaya penegakan hukum pelanggaran hak cipta di negara lain baik untuk hak moral dan/atau hak ekonomi.
Konvensi Bern menyebutkan penggunaan azas independence of protection, yang artinya, pelindungan dan penegakan hukum Hak Cipta mengimplementasikan aturan hukum di negara di mana karya hak cipta tersebut dilanggar.
"Untuk itu, jika pencipta atau pemegang hak cipta Indonesia ingin menegakkan hak cipta di negara lain, maka gugatan dilaksanakan berdasarkan dengan Undang Undang Hak Cipta di negara tersebut," jelas Min.
Selanjutnya, Min menerangkan jika pencipta atau pemegang hak ciptanya sudah meninggal dunia, maka ahli waris sebagai pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk melarang atau mengizinkan pihak lain dalam melaksanakan hak cipta miliknya.
Namun apabila terjadi dugaan pelanggaran, penegakan hak cipta seharusnya diawali dengan pendekatan alternative dispute resolution (ADR).
ADR merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan para pihak ketiga yang netral.
DJKI sebagai focal point kekayaan intelektual Indonesia dapat mengambil peran menjadi pihak netral yang menjembatani penyelesaian sengketa tersebut.
Terakhir, Min mengajak seluruh masyarakat dunia yang saling terhubung melalui internet untuk memahami pentingnya pelindungan hak cipta dan menghargai karya orang lain.
Dengan begitu dapat membangun ekosistem kekayaan intelektual yang lebih adil, kreatif, dan berkelanjutan.
"Mari bersama-sama menjaga dan mendukung ekosistem kreatif yang beragam ini demi kebaikan bersama," pungkasnya.
Sebagai tambahan, di Indonesia pelindungan hak cipta atas karya cipta lagu berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia (Pasal 58 ayat 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta).
Pencatatan hak cipta di Indonesia tidak diwajibkan, akan tetapi para kreator didorong untuk mencatatkannya di DJKI sebagai bagian dari upaya defensif apabila suatu ketika terjadi klaim dari pihak lain yang merugikan pencipta atau pemegang hak cipta.