News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

VIDEO Guido Ungkap Cerita Mistis Saat Syuting Video Klip 'Ro Jo Hamu'

Editor: Srihandriatmo Malau
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNNEWS.COM, PEMATANGSIANTAR - Penyanyi Batak aliran punk, Guido Virdaus Hutagalung buka-bukaan tentang kisah rahasia di balik proses rekaman dan pem buatan video klip lagu barunya Ro Jo Hamu (Datanglah). 

Single solo Guido, tidak bersama band Punxgoaran, Ro Jo Hamu diluncurkan melalui akun YouTube Guido Hutagalung, Minggu (22/9/2024).

Akun ini dimulai dari nol. Guido menuturkan, lagu Ro Jo Hamu dia persembahkan untuk Tano Batak, sebutan untuk manusia, alam dan budaya orang Batak di Sumatera Utara.

“Karya ini merupakan dedikasi untuk setiap isi Tano Batak; manusia, alam dan budayanya. Semuanya hidup membaur dan berdampingan karena yang paling utama adalah kepedulian serta perdamaian,” tulis Guido dalam narasi lagu Ro Jo Hamu yang diluncurkan melalui akun YouTube, Minggu, 22 September 2023.

Lagu Ro Jo Hamu diciptakan Osen Hutasoit. Komposer/aransement Raden Saragi dan Leo Sinaga. 

Lagu diciptakan Osen, sebagai buah pemikiran dan keprihatinan sejak setahun lebih terhadap nasib warga tertindas di kawasan Danau Toba.

Dan kebetulan, pada 25 Juli lalu, Guido mengunjungi anak-anak dan ibu-ibu yang tinggal dalam kondisi ketakutan di gubuk perjuangan tanah adat Sihaporas.

Lelaki dewasa tidak dijumpainya, sebab trauma karena tiga hari sebelumnya, Senin 22 Juli 2024, terjadi penangkapan lima warga masyarakat adat secara tak wajar. Polisi dari Polres Silmalungun datang dini hari, ajm 03.00 pagi.  

“Entah kenapa, hati kecil ini menginginkan untuk nyanyi Solo. Sementara biasanya aku (Guido), bersama Band Punxgoaran. Entah mengapa, untuk lagu ini, aku tergerak untuk sendiri aja,” kata Guido kepada wartawan, Senin (23/9/2024).

Pada saat nyanyi solo ini, lelaki kelahiran Pematangsiantar itu  mengajak dua temannya, yang merupakan komposer lagu.

“Setelah lagu jadi, di saat pembuatan video klip, kita berkunjung ke kuburan (Makam) Ompu Mamontang Laut Ambarita (Tuan SIhaporas)."

"Ternyata Ompu Mamontang Laut punya dua istri; boru  Sinaga dan boru Sitio. Kedua istri Ompu Mamontang Laut, semarga dengan dua orang komposer lagu tadi,” kata Guido.

“Aku heran, kenapa semua kebetulan berhubungan dengan apa yang aku bawa,” ujar Guido.

Ia menyebut kru bernama Leo Sinaga dan Raden Saragih.

Dua istri Tuan Sihaporas Ompu Mamontang Laut adalah boru Sinaga (istri pertama) dan boru Sitio (Saragi/Saragih). 

Merasakan Campur Tangan

Guido menuturkan kisah pencipatan lagu Ro Jo hamu. Ia mengaku marasakan ada dorongan dari luar tubuh yang menggerakkan hatinya  untuk memberikan persembahan lagu kepada masyarakat.

Pada saat diajak teman untuk melihat situasi masyarakat adat di Sihaporas, ia ringan langkah berangkat untuk mendengarkan langsung cerita-cerita warga.  

“Yaa, aku merasa sangat terkejut lah. Ternyata masih ada gitu, lingkungan atau komunitas masyarakat yang sangat mengerikan dan menakutkan terhadap intimidasi sehari-hari baik itu untuk anak-anak ataupun orangtua. Itu yang aku lihat,” kata Guido. 

Menurut catatan Guru Sekolah Adat Lamtoras Sihaporas, Putri br Ambarita, Guido dan kawan pertama kali berkunjung ke Sihaporas 25 Juli 2024. Atau tiga hari berselang setelah terjadi penangkapan lima warga setempat dari gubuk perjuangan tanah adat.

“Jadi, kenapa aku bilang seperti ada gitu yang menggerakkan? Karena dari situasi atau misalnya dari strategi-strategi aku membuat lagu, aku tidak terlalu pintar berdilektika untuk mengarang lagu, apalagi tentang lagu batak.”

Keesokan hari setelah melalukan perjalanan ke Desa Sihaporas, tiba-tiba Osen Hutasoit, pencipa lagu, menepati janjinya kepada  Guido, yaitu membuatkan lagu yang pernah dijanjikannya setahun yang lalu.

Lagu ini sangat menceritakan tentang kegelisahaan orang-orang Batak di kampungnya yang tertindas.

 “Tiba-tiab dia mengirim lagu itu. Dan ku pikir, lagu (Ro Jo Hamu) ini terinspirasi oleh penderitaan mereka,” kata Guido.

Guido masih bagian personel  Band Punxgoaran. Namun untuk Ro Jo Hamu,dia  tergerak untuk sendiri saja.

“Pada saat nyanyi solo ini, aku mengajak dua temanku yang merupakan komposer lagu."

"Setelah lagu jadi, di saat pembuatan video klip, kita berkunjung ke kuburan (Makam) Ompu Mamontang Laut Ambarita (Tuan SIhaporas)."

"Ternyata Ompu Mamontang Laut punya dua sitri. Kedua Istri Ompu Mamontang Laut semarga dengan dua orang komposer lagu tadi,  Sinaga dan  Sitio (Saragih). Aku heran, kenapa semua berhubungan dengan apa yang aku bawa,” ujarnya.

Lelaki kelahiran Pematangsiantar ini mengaku suka memberikan tantangan pada diri  sendiri. Ia berusaha menjawab sesuatu yang ia sanksikan. Dia ragukan.  

“Pada saat aku masuk ke hutan atau melihat ritual ritual budaya yang ada di Sihaporas, aku mencoba untuk kaki ayam (nyeker, tanpa alas kaki), tanpa memakai sepatu atau sandal. Kenapa?"

"Karena aku berpikir, benar nggak ya, aku dijagain?"

"Jawabannnya benar."

"Pada saat aku masuk ke dalam hutan, yang belukarnya luar biasa, tak satu pun ada duri melukai badan maupun kaki ku."

"Bahkan, satu biji pasir pun tidak ada yang kurasakan sakit terkena kakiku,” kata Guido yang bersama band Punxgoaran menulis dan memopulerkan lagu Sayur Kol. 

Ia melanjutkan, “Biasanya jika kita masuk ke hutan, kita pasti tertusuk duri. Ini sama sekali tidak ada."

"Inilah yang kurasakan, dan aku bisa pastikan bahwasanya situasi di tempat itu menjaga aku,” katanya.

Demikian juga saat berencana membaut video klip. “Kami disambut masyarakat Sihaporas, seperti memperlakukan raja."

"Saat untuk membuat konten pribadi, membuat single, saya tidak pernah merasakan hal aneh seperti itu."

"Saya bisa jamin, ini bukan gimmick ya. Sungguh luar biasa."

"Kemudian saya mengunggah lagu single pertamaku ini pada akun YouTube mulai dari nol, baru satu hari sudah 156 subscriber dan penonton lebih dari seribu viewers. Ini luaar biasa. Itulah kisah di balik single,” kata Guido.

Baca juga: Komnas HAM Dorong Polisi Tangani Kasus Masyarakat Adat di Sihaporas lewat Restoratif Justice

Guido juga menuturkan, merasakan campur tangan Tuhan.

“Saya merasakan seperti dituntun. Dan sampai hari ini, merasa seperti dituntun pada dimensi baik. Untuk tetap menyuarakan kebenaran. Konsisten berjuang."

"Semacam ada ucapan, ‘tenang kau. Adanya rezekimu."

"Soal masa depan, atau perut, tidak usah kau takutkan. "

"Apakah ini terkait dengan dengan Ompu Mamantang Laut, aku nggak tahu. Tapi memang, banyak orang yang bilang, aku punya khodam (roh penjaga)," ucapnya.

Dikisahkan Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita, ratusan tahun lalu, Martua Boniraja Ambarita meninggalkan kampungnya di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Ia trauma melihat Johana Naera br Ambarita, adiknya, dikubur hidup-hidup orang ibu kandung korban. Sang ibu menyuruh Naera menjaga padi menguning di ladang. Namun ia kelaparan  dan tertidur. 

Ibunya marah lalu memaksa putri menggali lubang, yang menjadi liang kubur Naera. Seluruh badan terkubur, sisa leher dan kepala di perkuaan tanah, hanya . Sebelum wafat, Naera dijumpai seakrat oleh Martua Boniraja. Ia menanyakan apa musabab kekejian terhadap adik perempuannya. Singkat cerita, sebelum menyampaikan permintana terakhir, nasi kuning dan telur ayam kampung masak, Naera meminta abangnya pergi jauh, sebab terancam akan dibunuh juga.  

Lalu pergilah  Martua Boniraja bertapak ke Pusik Buhit. Tujuh hari berlalu, dari sana kemudian menyeberangi Danau Toba menuju Dolok Mauli,  dekat Sipolha. Setelah bertemu tak sengaja dan kenalan dengan Tuan Sipolha marga Manik/Damanik, ia kemudian ‘mamukka huta’/mendirikan perkampungan di Sihaporas. 

Martua Boni Raja menikahi gadis Boru Sinaga dari Buttu Pasir, Panahatan, tepi Danau Toba arah Parapat. Lama berumah tangga, tidak mendapat keturunan.  Pasangan suami istri sepakat agar punya keturunan. Martua Boniraja pun menikahi gadis Boru Sitio dari Kecamatan Simanindo di Pulau Samosir. 

Mereka dikarunia 3 anak. Sejak lahir sampai tumbuh kembang, istri pertama hidup rukun dan turun merawat anak-anak istri kedua. Tiga anak mereka dinamai Ompu Sohailoan Ambarita (sulung), Ompu Jaipul Ambarita (penengah) dan Ompu Sogara (bungsu), yang kemudian merantau ke Motung, Kabupaten Toba. 

Bagi orang batak yang sudah punya keturunan, pantang atau tabu memanggil nama kecil. Belakangan Martua Boniraja memiliki nama sapaan  Ompu Mamontang Laut (Ompu si penyeberang danau/laut). Ia berinteraksi dengan Tuan Sipolha marga MAnik/Damanik), Raja Siantar marga Manik/Damanik dan Tuan Tanah Jawa (marga Sinaga). Mereka berempat berjumpa membahas batas-batah wilayah. Dalam satu kesempatan, mereka bersumpah di lokasi yang disebut Batu Sidua-dua, titik perbatasan tuan Tanah Jawa dengan Tuan Sihaporas. 

Marga dua istri Ompu Mamontang Laut itu sama dengan kru yang dibawa Guido, yakni marga Sinaga dan marga Saragih. Boru Sitio masuk kelompok marga parna, atau saragih.      

Baca juga: Tetua Adat Sihaporas Anak Pejuang Kemerdekaan Cari Keadilan di Jakarta: Apakah di Pusat Masih Ada?

Sejarah dan Makna Lagu

Guido menceritakan kisah seorang temannya, bukan sesama kru Band Punxgoaran.

Ia cerita bahwa pohon pembatas di lokasi tanah adat Sihaporas  ditebang supaya pihak TPL tidak menyerang masyarakat  Sihaporas.

“Jadi, aku semakin penasaran, ini tempat apa gitu. Aku tidak pernah tahu problematika yang dihadapi Sihaporas, dengan TPL. Aku tidak pernah tahu gitu."

"Aku hanya cuma datang ke situ melihat, dan mendengar bahwa ada yang ditangkap (polisi) pada malam hari, (22 JUli 2024 pukul 03.00 WIB)," jelasnya.

"Aku ga pernah mendengar hal begini. Dan aku bertanya kenapa bisa ada komunitas Batak yang menderita gitu? Karena setahu aku komunitas Batak selalu berpegangan ya, kalau ada yang susah paling satu atau dua tiga keluarga.”

Ini lain halnya, satu komunitas Sihaporas itu merasa ketakukan dan tertindas. Itulah alasannya, Guido berpikir apa yang bisa dia bantu?  

"Karena aku nggak bisa melawan PT TPL, karena itu merupakan perusahaan raksasa. Jadi aku menciptakan sebuah karya yang bagaimana seluruh masyarakat bangso Batak bisa melihat keadaannya di situ."

"Karena jika kita semua sama-sama melihat, Bangso Batak melihat, pasti kita semua bisa mengambil sebuah kesimpulan. Semakin kita angkat semua cerita, mungkin bisa diputarbalikkan faktanya."

"Lain halnya , kalau kita datang dan melihat masyarakat Sihaporas, dan menyaksikan sendiri, pasti kita dapat memberikan solusi terbaik,” ujar Guido.

Penyanyi Batak alirah punk, Guido Virdaus Hutagalung menulis lirik lagu Ro Jo Hamu pada selembar karton saay rekaman video klip di kawasan tanah adat Sihaporas, Kecamatan Pematangsidamanik, Kabupaten Simalaungun, Sumatera Utara, 27 Agustus 2024. ((Foto Dokumentasi Lamtoras/Putri Ambarita))

Kenapa Syuting Video Klip di Sihaporas?

“Kenapa memilih syuting video klip Ro Jo Hamu di Sihaporas?” tanya wartawan.

“Karena di situ adalah baraknya mereka. Tempat mereka bercerita, dan biar sesuai dengan apa yang kunyanyikan dan ku inspirasikan, related dengan keadaan."

"Dan tidak mungkin kita menggunakan lirik-lirik yang kontroversi atau lirik yang provokatif. Nggak bisa lagi begitu. Aku merasakan gak bisa begitu lagi, tidak bisa lagi dengan lemah-lembut. Sama kayak mamak-mamak gitu, jika melawan ya ‘telanjang' aja gitu. Telanjang apa? Bukan telanjang begitu."

“Yaa begitu juga, dengan sebuah karya, kita juga harus bisa melawan dengan kejujuran dan keihklasan, supaya bisa membuktikan terkait 'Tega Lu Ya!’”

Soal konsep dan lirik lagu, sepenuhnya karya Osen Hutasoit.

“Aku hanya bisa menceritakan apa yang kurasakan. Dan Osen menulis liriknya,” ujar Guido. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini