TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian nasional terkonstraksi hebat, ternyata mampu memacu peningkatan penetrasi industri asuransi di masyarakat.
Terjadinya serangan gelombang kedua Covid-19 pada pertengahan Juli 2021 yang menyebabkan ribuan korban jiwa melayang, diduga ikut menyebabkan berubahnya cara pandang masyarakat erhadap kebutuhan berasuransi.
Deputi Direktur Pengawasan Asuransi 2 OJK Kristianto Andi Handoko dalam sebuah diskusi secara webinar pekan lalu (15/9/2021) mengatakan, peningkatan penetrasi asuransi mencapai hingga 3,11% selama pandemi berdasarkan data per Juli 2021.
Angka tersebut meningkat jika dibanding posisi akhir tahun 2020 yang sebesar 2,92%.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, ada peningkatan pendapatan premi pada produk asuransi jiwa nasional dalam lima bulan terakhir.
Ada peningkatan pendapatan premi asuransi jiwa konvensional, dari Rp65,1 triliun pada April 2021, meningkat menjadi Rp72,9 triliun pada Mei, dan terus meningkat menjadi Rp94,01 triliun pada Juni.
Pada akhir Agustus 2021, pendapatan premi perusahaan asuransi jiwa konvensional tercatat naik menjadi Rp121,17 triliun.
Angka tersebut merupakan gambaran positif mengenai peningkatan kesadaran masyarakat untuk berasuransi.
Dalam masa pandemi, masyarakat makin menyadari pentingnya asuransi untuk menjamin kesehatan dan jiwa mereka.
Sejumlah kejadian yang belakangan terjadi, termasuk salah satunya berita tentang proses klaim dari seorang aktris ke Prudential Indonesia, menunjukkan semakin pentingnya edukasi mengenai asuransi harus dilakukan berdampingan dengan penjualan asuransi agar semakin banyak masyarakat terlindungi.
Baca juga: Unggah Status Baru di IG, Klaim Asuransi Kesehatan Anak Wanda Hamidah Akhirnya Cair
Melalui peningkatan pemahaman asuransi serta prinsip-prinsip asuransi, masyarakat diharapkan akan terhindar dari kesalahpahaman, dan yang lebih penting, mengetahui dengan jelas manfaat yang diperoleh dari asuransi sehingga dapat meningkatkan literasi dan penetrasi asuransi di Indonesia.
Baca juga: Wisman ke Bali Harus Miliki Pertanggungan Asuransi Rp 1,4 Miliar
Prinsip pertama dalam dunia asuransi yang harus dipahami masyarakat, adalah Insurable Interest.
Prinsip ini menjelaskan bahwa seseorang diberikan hak untuk mengasuransikan sesuatu karena terdapat hubungan keluarga atau ekonomi yang mendasarinya.
Hak ini otomatis timbul setelah adanya perjanjian yang sering disebut Polis dan telah memiliki dasar hukum.
Baca juga: AAJI: Penetrasi Asuransi Jiwa Masih Rendah, Hanya 6,5 Persen dari Total Penduduk Indonesia
Sebagai contoh, untuk mengasuransikan seseorang, Anda harus memiliki hubungan seperti ayah, ibu, suami, istri, dan anak. Tentunya anggota masyarakat terkait juga bisa mengasuransikan diri sendiri.
Contoh lainnya adalah Anda bisa mengasuransikan bisnis Anda sendiri atau orang-orang berhubungan dengan bisnis Anda seperti karyawan.
Prinsip kedua yang harus dipahami adalah Utmost Good Faith. Sesuai dengan namanya, prinsip ini memiliki arti yaitu niat atau itikad baik.
Maksudnya adalah, dalam proses membeli produk asuransi, baik Tertanggung (nasabah) maupun Penanggung (perusahaan asuransi) harus menyampaikan informasi dengan terbuka, rinci, dan jujur.
Tertanggung atau nasabah harus menjawab dengan jujur beberapa pertanyaan pada screening risiko sebelum membuat kesepakatan, seperti penyakit bawaan, aktivitas merokok, pengalaman dirawat di rumah sakit, dan lain-lain.
Hal ini juga berlaku untuk Penanggung atau perusahaan asuransi, di mana perusahaan asuransi harus menyampaikan detail produk dan tidak menutup-nutupi informasi yang harus diketahui Tertanggung/Nasabah.
Prinsip ketiga adalah Indemnity, yang sering juga disebut sebagai prinsip ganti rugi. Perusahaan asuransi selaku penanggung harus memberikan ganti rugi kepada Tertanggung sesuai dengan kesepakatan pada perjanjian atau polis.
Kemudian, nilai tanggungan harus sesuai dengan nilai klaim yang sudah diajukan tanpa pengurangan atau penambahan nilai.
Subrogation adalah prinsip lainnya pada asuransi yang harus dipahami.
Subrogasi ini berkaitan dengan kondisi di mana kerugian yang dialami tertanggung atau nasabah disebabkan oleh pihak ketiga (orang lain). Jika melihat pada pasal 1365 KUH Perdata, pihak ketiga yang bersalah harus mengganti kerugian Tertanggung.
Bagaimana bila Tertanggung sudah memiliki asuransi? Dalam asuransi, subrogasi mengharuskan Tertanggung memilih salah satu dari sumber pengganti kerugian, yaitu penanggung atau pihak ketiga.
Tertanggung tidak boleh memilih dari keduanya, karena tertanggung akan mendapat penggantian melampaui yang semestinya.
Lain halnya jika Tertanggung tidak mendapat ganti rugi secara penuh dari pihak ketiga, maka Tertanggung dapat meminta hak ganti rugi sesuai dengan selisih yang ada kepada Penanggung.
Demikian pula apabila Tertanggung sudah mendapat penggantian dari Penanggung, maka Tertanggung tidak boleh menuntut pihak ketiga.
Prinsip berikutnya yang harus dipahami masyarakat adalah Contribution. Jika dianalogikan dalam sebuah pertanggungan, misalnya seorang kerabat Anda dirawat di rumah sakit dan biayanya di-cover oleh dua asuransi yang berbeda.
Kondisi tersebut adalah contoh dari prinsip contribution. Dalam prinsip ini, pihak asuransi memiliki hak untuk mengajak Penanggung lainnya untuk menanggung kerugian Tertanggung.
Misalnya, Pak Andi dirawat di ICU selama 7 (tujuh) hari dan memakan biaya hingga Rp200 juta. Tagihan perawatan Pak Andi di-cover oleh asuransi BCD sebesar Rp90 juta. Jika Pak Andi memiliki Polis asuransi lain, yaitu asuransi EFG, maka asuransi EFG hanya perlu membayar sisa tagihan yaitu sebesar Rp110 juta.
Prinsip berasuransi lainnya yang tak boleh luput dipahami adalah Proximate Cause. Prinsip asuransi yang terakhir adalah prinsip kausa proksimal, di mana setiap kerugian yang terjadi pasti ada penyebabnya.
Mengacu prinsip ini, Penanggung hanya akan mengganti kerugian Tertanggung apabila suatu peristiwa diakibatkan oleh penyebab yang diatur dalam polis.