TRIBUNNEWS.COM - Juara dunia tinju kebanggaan Indonesia, Chris John mengenang pendidikan disiplin dari ayahnya, Johan Tjahjadi pada saat ia masih kecil di pelosok Banjarnegara, Jawa Tengah. Jika dia terlambat pulang, pasti mendapat hukuman. Disuruh push-up atau bahkan dipukul dengan gulungan buku.
"Ayah saya sangat dominan. Dia akan memukul saya dengan gulungan buku, menampar saya, atau menyuruh saya untuk push-up jika saya pulang terlambat setelah bermain dengan teman-teman. Saya harus menerima setiap hukuman itu tanpa bisa menghindar," kata Chris John seperti dikutip Tribunnews.com dari AFP, Rabu (10/4/2013).
Ayahnya lah yang memberikan dorongan pertama padanya untuk menjadi seorang petinju dun,ia yang kini telah membawa dirinya menjadi seorang juara dunia bahkan mencetak rekor sebagai juara yang tak pernah kalah setelah lebih dari 50 kali pertarungan.
Masih teringat ketika dia menggunakan sarung tinju yang sudah usang di sebuah arena lapangan sepakbola di sebuah pedesaan. Ayahnya lah yang mendorong dia dan memiliki tekad menjadikannya menjadi seorang juara. "Saya benci tinju pada awalnya, tapi entah bagaimana ternyata rasa cinta pada tinju itu tumbuh pada diri saya," katanya.
Sekarang, di usia 33, pria berjuluk "The Dragon" telah mengukir karier sebagai petinju tak terkalahkan dan mencetak rekor yang menakjubkan. Dia akan menghadapi laga yang Ke-18 kali mempertahankan gelar juara dunia tinju kelas bulu WBA melawan petinju Jepang, Satoshi "Bazooka" Hosono di lapangan tenis indoor Senayan, Jakarta Minggu (14/4/2013).
Meski belum pasti kapan dia akan gantung sarung tinju, Chris John juga sudah mempersiapkan karier baru jika suatu saat dia pensiun. Dia akan menjadi pelatih tinju yang mendorong untuk lahirnya juara-juara baru tinju dari Indonesia.
Rencananya, dia akan pensiun di usia 35. The Dragon berencana untuk menggunakan masa pensiunnya itu untuk melatih juara masa depan dari Indonesia. Ia ingin mencontoh apa yang pernah diterapkan oleh ayahnya dahulu. "Setelah saya pensiun, saya ingin mendorong lebih banyak orang Indonesia untuk jadi petinju, dan mudah-mudahan jadi juara dunia juga," katanya.
Diakui, Indonesia memang bukan negara di mana tinju bisa tumbuh subur. Tapi selama dekade terakhir, Chris John telah mengukir prestasi menjadi salah satu petinju dengan karier luar biasa di olahraga tinju modern.
"Ia sudah jadi juara dunia kelas bulu sejak 2003 dan rekornya saat ini adalah 48 kali menang, dua kali imbang, dan tidak pernah kalah. Menempatkannya setara dengan rekor legenda petinju Meksiko, Ricardo Lopez yang tak terkalahkan sampai pensiun setelah meraih 51 kali kemenangan.
Siapa pun petinju yang kelak akan jadi anak didiknya, harus siap menghadapi latihan yang tidak ringan jika dia menerapkan metode melatih yang sama seperti cara sang ayah. Saat latihan di desa terpencil di usia sekitar lima tahun.
"Kami dilatih dengan memakai sarung tangan murah, sampai sarung tangan itu compang-camping dan busanya sampai keluar. Kalau sudah begitu saya akan tambal lagi sarung tinju itu dengan lem dan kulit," kenangnya.
"Saya bisa.. merekrut dan melatih petinju muda dan juga membantu untuk mengatur mereka untuk mengikuti kompetisi," katanya.
Meski demikian, dia juga mengakui ada tantangan berat untuk bisa terus memelihara petinju-petinju muda bertalenta dari Indonesia di mana olahraga tinju tak sepopuler olahraga lain seperti sepakbola. Kendala kekurangan uang dan fasilitas bakal dihadapi.
"Ada banyak petinju berbakat di Indonesia, tapi masalahnya adalah bagaiman mengubah mereka menjadi juara?" Katanya. (Tribunnews.com/mba)