TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Olimpiade Indonesia, dikenal sebagai KOI, sudah memastikan pengiriman muaythai, hoki, petanque, vovinam, dan equestrian ke SEA Games 2013 Myanmar.
Semula, ke-5 cabor tersebut nyaris tidak bisa atau gagal diberangkatkan, karena sama-sama belum menjadi anggota KOI.
Berdasarkan peraturan peserta yang mengikuti SEA Games, yang boleh mengikuti ajang 'multievent' itu adalah cabor-cabor yang tercatat sebagai anggota resmi KOI.
Namun belakangan, kelimanya diketahui hanya terdaftar di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), tapi tidak di KOI.
Namun, cabor-cabor tersebut bisa saja tetap ikut SEA Games. Dengan catatan, mereka bisa memenuhi target yang disepakati Satlak Prima dan KOI, yaitu meraih minimal medali perak.
DIPERTANYAKAN
Segera saja keputusan tersebut, khususnya terkait dengan equestrian, mengundang kontroversi. Pasalnya, equestrian yang akan diberangkatkan ke Myanmar adalah equestrian dibawah naungan Equestrian Federation of Indonesia (EFI). Sudah luas diketahui bahwa EFI bukan anggota KOI.
Yang menjadi anggota KOI adalah PP Pordasi, yang dalam hal ini membawahi komisi equestrian Indonesia atau Eqina. Diantara lima cabor bukan anggota KOI yang akhirnya 'dilegalisasi' keberangkatannya ke SEA Games Myanmar oleh KOI, equestrian memang satu-satunya cabor yang bermasalah.
Disebut bermasalah, ya karena adanya dualisme organisasi itu. Yakni, Eqina yang berada dibawah naungan PP Pordasi, dan EFI. Dalam koridor proses pembinaan equestrian itu sendiri, diketahui bahwa Eqina yang lebih menjadi pilihan dari para pemangku dan pelaku equestrian Tanah Air.
Diketahui bahwa mayoritas 'stakeholder' equestrian atau masyarakat equestrian Indonesia, terutama klub-klub equestrian, lebih suka menjadi anggota Eqina.
ADMINISTRATIF
Karena itu pula keputusan KOI terkait keberangkatan equestrian itu disebut-sebut sangat kontradiktif. Wajar jika masyarakat equestrian yang tergabung dalam Eqina meminta 'pertanggung-jawaban' KOI.
Di sisi lain, PP Pordasi juga harus secepatnya berkirim surat kepada KOI, mempertanyakan masalah itu. PP Pordasi adalah anggota KOI, dan Eqina yang membawahi equestrian sudah mempersiapkan diri menghadapi SEA Games.
Wajar jika KOI patut dimintai 'pertanggung-jawabannya' karena KOI juga yang sebelumnya menghendaki PP Pordasi turut mempersiapkan atlet equestriannya untuk ke SEA Games itu. Secara administratif KOI telah melayangkan surat kepada PP Pordasi, bahkan mengundang 'meeting' dalam rangka persiapan SEA Games dan seleksi nasional.
Surat tersebut secara administratif masih 'open' karena belum ada tindak lanjutnya. Namun, sekarang tiba-tiba sudah keluar lagi kebijakan seperti ini.
Tidak bisa dipungkiri keputusan KOI sangat memukul Eqina. Kendati demikian, di sisi lain, kebijakan tersebut juga menimbulkan kesan betapa 'rapuh'-nya kepengurusan KOI. Kasihan benar karena KOI telah dikelola secara 'improperly unprofessional at all'.
Persoalan administratif yang notabene sangat basic (mendasar), dan cermin dari suatu organisasi yang sehat saja tidak bisa mereka jaga. "So shame on you KOI," begitulah mungkin diantara hujatan yang dilontarkan untuk KOI.
Padahal, kalaupun KOI menulis surat dan ajak PP Pordasi berunding untuk minta pengertian atas keputusan ini kita yakini saja bahwa untuk PP Pordasi tidak akan menjadi masalah. Karena, seperti pernah diungkap dalam tulisan sebelumnya, SEA Games bukanlah segala galanya dalam perjuangan 'rider-rider' Eqina. Ini sejalan dengan 'sikap' Jose Riza Partokusumo, ketua umum Eqina.
"Kita siap melepasnya dengan besar hati, dan kita yakin (hal itu) tidak akan mengurangi semangat atlet binaan kita," demikian antara lain dikemukakan Jose sehubungan dengan 'luputnya' SEA Games itu.
GUGATAN PORDASI
Kebijakan KOI dengan memberangkatkan equestrian-nya EFI ke SEA Games Myanmar, dinilai tak terlepas dari sikap keras PP Pordasi dalam pengajuan gugatannya ke KOI melalui Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI), lembaga yudisial dibawah KOI. Pordasi, seperti telah banyak diberitakan, menggugat KOI atas 'lepasnya' hak sebagai perwakilan nasional (NF) dari equestrian.
Hak perwakilan dari Federasi Equestrian Internasional (FEI) itu sejak beberapa tahun terakhir dipegang oleh EFI. Pordasi meyakini lepasnya hak perwakilan FEI itu karena campur tangan atau intervensi unsur KOI. Rita Subowo, ketua KOI, sudah lama meminta agar Pordasi menarik kembali gugatannya.
Namun, Pordasi tak bergeming. Subtansi gugatan tersebut sudah dibahas beberapa kali di BAKI, yang bermaterikan pakar pakar hukum kenamaan, profesional dan kredibel. Yang diperjuangkan PP Pordasi secara esensial sebenarnya bukan kembalinya hak NF dari FEI itu.
Yang mereka perjuangkan adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Karena itu kegigihan mereka untuk bersikap
"Kebenaran bisa disalahkan tetapi kebenaran tak bisa dikalahkan" patut dipuji. (tb)