TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya banding Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi) ke Pengadilan Arbitrase Olahraga Internasional (CAS) diajukan karena adanya penyumbatan untuk penegakan hukum di dalam negeri.
Pencapaian demokratisasi hukum dengan mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) sulit diterapkan secara optimal sejauh yang menjadi obyek gugatan atau tergugat adalah Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sendiri, yang notabene adalah 'induk' dari BAKI.
Demikian benang merah kesimpulan dari beberapa praktisi olahraga tanah air terkait langkah hukum yang tengah dilakukan induk organisasi berkuda nasional, PP Pordasi, dengan mengajukan upaya banding ke Court of Arbitration for Sports (CAS) sehubungan dengan konflik dualisme dalam pengelolaan equestrian, salah satu disiplin dalam olahraga berkuda.
Sebagaimana diketahui, PP Pordasi sejak medio Mei 2013 mengajukan gugatan terhadap KOI pimpinan Rita Subowo ke BAKI. Diterima sebagai pengaduan perdana yang diterima oleh BAKI setelah hampir setahun pembentukannya, PP Pordasi mencoba mencari penyelesaian hukum atas terbitnya sebuah surat dari petinggi KOI yang menjadi penyebab dialihkannya hak sebagai 'federasi nasional'/NF atau perwakilan dari Federasi Equestrian Internasional, yang dalam hal ini adalah FEI.
Surat yang disampaikan petinggi KOI kepada Presiden FEI HRH Princess Hayya pada Maret 2010 dinilai menjadi rujukan untuk pengalihah status NF dari Pordasi ke Equestrian Federation of Indonesia, atau Federasi Equestrian Indonesia (EFI).
Sumber-sumber menyebutkan, BAKI sebenarnya sudah berusaha untuk mendalami pengaduan dari PP Pordasi, namun 'perkara' tersebut kemudian tidak bisa dilanjutkan karena tidak adanya niat baik dari Ketua KOI Rita Subowo untuk bekerjasama. Pada awal Desember lalu, BAKI menyatakan bahwa kasus ini tidak bisa diterima.
Kasus ini bukan sekadar menjadi sebuah proses pembelajaran dalam usaha untuk adanya demokratisasi dalam pengelolaan keolahragaan di Indonesia. Sejumlah praktisi olahraga menilai, ini adalah sebuah upaya untuk pencarian kebenaran, dan di negeri ini kebenaran memang sangat mahal harganya.
"Kalau kasus ini benar-benar diteruskan dan diketahui oleh dunia, maka dunia pun akan lebih terbuka untuk lebih memahami betapa buruknya penerapan hukum di Indonesia untuk menyelesaikan sengketa dalam aspek olahraga yang menjunjung tinggi sportivitas dan fair-play," ujar seorang praktisi hukum.
Kasus ini juga dinilai menjadi pertaruhan besar untuk seorang Rita Subowo yang memiliki jaringan luas dalam keolahragaan internasional.
Rita Subowo adalah salah saeorang anggota dewan (Councill Members) Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang disegani, sekaligus anggota Dewan Olimpiade Asia (OCA) yang berpengaruh.
Kasus ini sekaligus menjadi sebuah 'perlawanan' atau antitesis dari pernyataan-pernyataan tentang perlunya ditingkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai luhur olahraga yang selalu diketengahkan Rita Subowo dalam kapasitasnya sebagai duta olahraga internasional.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum KOI Haryo Yuniarto menyatakan, silakan saja jika Pordasi ingin melanjutkan langkah hukumnya dengan
mengajukan banding ke CAS. Disamping menyatakan bahwa hal itu memang dibenarkan, sesuai prosedur, Haryo Yuniarto menyebut
jika langkah Pordasi itu sah untuk memperoleh kebenaran.
"Tidak ada masalah untuk saya, silakan saja. Kita harus menghormati hak hukum Pordasi. Saya yakin langkah itu mereka tempuh dalam proses mendapatkan kebenaran," jelas Haryo Yuniarto. (tb)