TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masih adakah hatinurani pada mereka yang mengaku sebagai pemangku kepentingan tenis meja nasional karena hingga saat ini belum ada titik terang dari persoalan yang menghimpit organisasi mereka? Pertanyaan yang mungkin mudah untuk dijawab meski penafsiran kebenarannya sangat tergantung kepada siapa pertanyaan tersebut diajukan.
Potensi perpecahan di tubuh organisasi tenis meja nasional sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir, dan mencapai puncaknya sekarang ini dengan adanya dua kubu atau kelompok dengan klaim pembenarannya masing-masing, yang secara langsung atau tidak langsung pada akhirnya mengakibatkan degradasi total pada pembinaan tenis meja nasional.
Pencinta tenis meja nasional (jika masih ada) layak menangis menyusul kegagalan 'tim Indonesia' membawa pulang satu pun medali dari SEA Games Myanmar, penghujung 2013. Sepanjang sejarah keikutsertaan di kontes tenis meja SEA Games, baru kali ini tim tenis meja Indonesia gagal total mendulang medali.
Permasalahan di organisasi tenis meja ini sepertinya masih berada dalam labirin tak berujung, sejauh para pemangku kepentingan yang terlibat tetap bersikeras pada pembenaran yang diyakininya masing-masing.
Persoalan yang menghimpit makin sulit untuk terselesaikan karena lemahnya kewibawaan pimpinan KONI Pusat, yang mestinya bisa sepenuhnya bersikap sebagai pihak yang netral.
Tenis meja hanya menjadi salah satu dari cabang olahraga yang mengalami perpecahan, karena dualisme kepengurusan atau sebab lainnya. Beberapa cabor lainnya adalah wushu, balap sepeda, taekwondo, dan berkuda (equestrian).
Catatan khusus perlu diberikan untuk equestrian karena sudah ada titik terang untuk penyatuan dari dualisme organisasi, yang ditandai dengan unifikasi terkait program kegiatan mereka.
Sebuah kemajuan yang patut diapresiasi, dan itu tentunya semata-mata dilakukan atas pertimbangan kepentingan atlet, sehingga pengembangan program pembinaan mereka memang yang patut dikedepankan!
Secara umum akar dari permasalahan pengelolaan keolahragaan di tanah air diakibatkan oleh perbedaan pendapat serta disharmonisasi kepengurusan karena 'conflict of intrerest' atau perbenturan kepentingan.
Penyelesaian dari permasalahan tersebut seperti menjadi sulit dilakukan mengingat landasan dari penyertaan mayoritas figur di organisasi olahraga adalah atas dasar rasa suka, kecintaan, dan kesediaan untuk memberikan pengorbanan waktu, tenaga dan materi, terutama untuk mereka yang dipercaya menjadi pemimpin.
Setiap cabor sebenarnya sudah memiliki konstitusi masing-masing, baik berupa Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Pedoman Dasar, atau Statuta--sebagaimana halnya PSSI.
Konstitusi setiap cabor logikanya adalah panduan atau petunjuk atas perjalanan organisasi secara komprehensif, termasuk tata-kelola administrasi kepengurusan serta aturan atau ketentuan terkait masa jabatan pengurus.
Subtansi dari permasalahan yang mendera organisasi tenis meja tampaknya tak terlepas dari pemahaman yang berbeda atas konstitusi tenis meja itu sendiri.
Itulah yang mestinya harus diselesaikan lebih dahulu, dengan setiap figur yang terlibat logikanya juga harus mengedepankan ideologi kebangsaannya, bukan ideologi kekubuan atau kelompok.
Sehubungan dengan itu wajar kalau sekarang ini seorang Diana Wuisan Tedjasukmana sudah enggan untuk berbicara soal kekisruhan di organisasi olahraga yang pernah membesarkan namanya.
"Saya sudah tidak mau ikut-ikutan," kata Diana Wuisan, saat ditemui sebagai panelis pada diskusi olahraga evaluasi kegagalan SEA Games 2013 yang diselenggarakan oleh Siwo PWI Pusat, Kamis (30/1/2014) lalu di Senayan.
Diana Wuisan, yang pernah menyabet enam medali emas di SEA Games, dalam diskusi itu memang tidak secara ekplisit mengurai sebab-akibat kegagalan total tim tenis meja Indonesia di SEA Games Myanmar.
Ia memilih untuk memberikan contoh dari keberhasilannya saat menjadi pembina di PTM Surya Kediri, yang memberi kontribusi luar biasa pada tenis meja Indonesia, menyumbang lebih dari 70% atlet tenis meja nasional.
"Saya berjuang untuk tidak salah urus," terangnya.
Caranya, antara lain, dengan mengumpamakan klubnya sebagai sebuah perusahaan profesional, mulai dari proses perekrutran hingga pembinaan.
"Kita berlakukan reward and punishment, bukan atas dasar pertemanan atau like and dislike," tegasnya. (tb)