News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Thomas dan Uber Cup 2014

Rivalitas Indonesia-Malaysia di Piala Thomas: Alan Budi Kusuma Pernah Diantar Bus Penjara

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tim Piala Thomas 2014.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada pikiran yang tak pernah terungkap di antara penggemar bulu tangkis, "China (sekarang Tiongkok), Korea, Denmark, bahkan Jepang sekali pun boleh juara Piala Thomas, asal bukan Malaysia!"

Pikiran serupa mungkin juga ada pada benak para penggemar bulu tangkis negeri jiran, Malaysia. Siapa pun silakan bawa Piala Thomas, asal bukan Indonesia!

Pemikiran ini sebenarnya bukan a historis. Ada sejarah panjang yang melatarinya. Semuanya bermuara pada persaingan dua bangsa yang pernah merasa serumpun ini, terutama karena latar belakang politik.

Malaysia—saat bernama Malaya—adalah kakak tertua di ajang Piala Thomas. Mereka tak tertandingi kekuatan-kekuatan Eropa antara 1949 hingga 1957, hingga munculnya kekuatan baru dari selatan, Indonesia.

Tim Piala Thomas Indonesia yang dimotori Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville muncul bagai Caesar, datang, tanding, dan bawa pulang piala. Malaya sebagai old established forces tidak mampu membendung gelombang new emerging force, Indonesia. Ini kali pertama Piala Thomas dibawa ke Jakarta.

Namun, pemicu paling besar dari persaingan Indonesia dan Malaysia di ajang bulu tangkis, khususnya Piala Thomas, adalah era konfrontasi 1964-1967.

Pemerintah Indonesia yang menganggap Malaysia merupakan negara boneka bentukan imperialis Inggris membawa masalah politik ke arena pertandingan. Karena itulah, Indonesia sempat keluar dari Komite Olimpiade Internasional (IOC).

Dalam kondisi seperti inilah, terjadi peristiwa Scheele yang membuat langgeng persaingan Indonesia dan Malaysia di bulu tangkis, khususnya Piala Thomas. Wasit kehormatan IBF (sebelum BWF) asal Inggris, Herbert Scheele, menghentikan pertandingan final Piala Thomas Indonesia-Malaysia di Istora Senayan dengan alasan penonton sudah mengganggu jalannya pertandingan.

Saat itu, Indonesia tertinggal 3-4, tetapi ganda putra tengah di atas angin dengan dukungan penonton. Scheele meminta pertandingan dihentikan dan IBF memutuskan diulang di Selandia Baru kemudian. Indonesia menolak dan Piala Thomas dipastikan "diberikan" kepada Malaysia.

Namun, rakyat Indonesia menganggap piala itu hanya "dititipkan" di Kuala Lumpur. Tiga tahun kemudian, pada 1970, Rudy Hartono dan kawan-kawan "merebut" kembali dengan mengalahkan tuan rumah Malaysia 7-2.

Namun, luka sudah telanjur terbuka dan membesar. Setiap kali bertanding di kandang lawan, para pemain menganggap ada tindakan tidak sportif yang dilakukan pihak tuan rumah untuk menjatuhkan moral lawan, termasuk dari panitia dan penonton.

Seperti dirasakan Alan Budi Kusuma dkk saat bertanding di final melawan Malaysia di Kuala Lumpur pada 1992. "Saat itu, kita dikerjain dengan hanya diberikan bus penjara sebagai sarana transportasi. Belum lagi, stadion tempat latihan yang dipenuhi para pendukung Malaysia," kata Alan.

Situasi serupa juga dirasakan para pemain Malaysia bila bertanding di Jakarta. Pada final Piala Thomas 1994, Ong Ewe Hock menganggap sikap panitia dan penonton sudah keterlaluan hingga ia merusak permainan sendiri dengan membuang-buang bola. Saat itu Malaysia kalah 0-3.

Kali ini, Simon Santoso dkk akan kembali bertemu dalam pertarungan prestise di semifinal Piala Thomas melawan Lee Chong Wei dkk. Namun, kali ini pertandingan berlangsung di tempat netral.

Berdasar statistik, Indonesia sudah 18 kali lolos ke final Piala Thomas dengan 13 di antaranya menjadi juara, sementara Malaysia 13 kali lolos ke final dengan 5 di antaranya menjadi juara.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini