TRIBUNNEWS, COM. JAKARTA - Badan Arbitrase Olahraga Internasional, atau Court of Arbitration for Sport (CAS), disebut-sebut menjadi harapan terakhir komunitas equestrian Indonesia dalam memperoleh kembali hak pengelolaan kegiatan berkuda ketangkasan di tanah air.
Hak sebagai pengelola 'National Federation' atau NF dari equestrian yang sejak 1978 dipegang oleh PP Pordasi, pada. 2010 'dirampas' oleh Federasi Equestrian Indonesia (EFI) dengan keterlibatan petinggi Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Sebagai pemegang NF yang baru, EFI langsung berhubungan dengan Federasi Equestrian Internasional (FEI).
Sebagai anggota KONI Pusat, EFI memiliki keuntungan terkait penentuan atau pembentukan timnas equestrian untuk diterjunkan di multi-event seperti SEA Games atau Asian Games.
Sehubungan dengan itu, rider-rider terbaik dari komunitas equestrian yang tidak mengakui keberadaan EFI bisa dikatakan kehilangan kesempatan untuk mewakili Indonesia di multi-event seperti SEA Games.
Hal ini karena EFI-lah yang menentukan siapa yang harus diberangkatkan, bahkan tanpa harus menggelar seleksi untuk menentukannya.
Untuk program kegiatan di dalam negeri, agenda yang dimiliki EFI tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kalender kejuaraan dari komunitas equestrian.
Dalam kondisi seperti ini, komunitas equestrian mengharapkan agenda kegiatan terus diperbanyak.
"Harus diupayakan untuk ditingkatkan frekwensi kegiatannya. Proses pembinaan rider-rider muda tidak boleh terhenti," ungkap Triputra Yusni Prawiro, pemilik Pegasus Stable, saat menyaksikan Indonesian Jumping Grand Prix di Arthayasa Stable, Cinere, Sabtu (9/5).
Yusni Prawiro mengakui, dia tidak terlalu optimistis dengan hasil banding yang diajukan oleh PP Pordasi ke CAS.
Walau demikian, dia tetap mengharapkan putusan CAS adalah yang terbaik bagi komunitas equestrian.
Yakni, mengabulkan gugatan banding dari PP Pordasi. tb