TRIBUNNEWS, COM. JAKARTA - Ketika Rafiq Hakim Radinal memutuskan untuk memisahkan pergelaran 'Indonesian Jumping Grand Prix' dengan 'Skill & Elegance Dressage Cup', segala sesuatunya sudah ia pertimbangkan matang-matang.
"Yang pasti, untuk event khusus dressage, jumlah pesertanya tak sebanyak jumping. Penonton juga lebih sepi, suasananya juga kurang ramai, soalnya tak ada teriakan bergemuruh. Sesekali masih ada tepuk tangan, saat rider mengakhiri penampilannya," tutur Rafiq, pemilik Arthayasa Stables & Country Club yang juga penggagas dua event yang digelar pada 8-10 Mei dan 16-17 Mei ini.
DRAMA
Selama ini kompetisi jumping dianggap lebih menarik. Kerap ada 'perlawanan' dari kuda kepada penunggangnya, sang rider. Kuda sering menolak melewati rintangan, mungkin karena tiba-tiba kehilangan 'mood'.
Ada rider yang 'dijatuhkan' oleh kudanya, ada pula yang terseret-seret hingga beberapa meter. Intinya, kompetisi disiplin lompat rintangan ini tak jarang diwarnai drama.
Bagaimana dengan dressage? Tak seperti disipllin jumping yang lebih berwarna, pementasan nomor tunggang serasi (dressage) dipandang lebih kering.
Penonton hanya menikmati gerakan dan langkah-langkah kuda sesuai intruksi rider, penunggangnya, dan tentunya diselaraskan pula pada masing-masing tingkatan.
Seperti diketahui, tingkatan pada dressage adalah Walk Trot, Preliminary, Elementary, Medium, Advance, dan Prix St George.
Setelah itu ada Intermediate 1 sampai 3, lalu Grand Prix, dan terakhir Grand Prix Special," ungkap James Momongan, salah satu rider utama Indonesia di masa lalu, Minggu (17/5) di Arthayasa Stables, Cinere, Depok.
Di Indonesia, kata James Momongan, paling banter rider kita baru sampai tahap Intermediate.
"Di dalam negeri nomor ini sudah pernah dilombakan. Larasati, Eeng Hariyanto, bahkan Jolfie sudah pernah main di Intermediate. Yang jelas hanya rider-rider senior yang sudah mampu memainkan kelas-kelas tinggi itu, karena gerakan atau langkah-langkah kuda memang semakin sulit," jelas ayah kandung rider tangguh Yoel Momongan itu. tb