News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indonesia Open 2015

Ketika Sikap Lin Dan Bisa Mencederai Bulutangkis

Penulis: Deodatus Pradipto
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pebulutangkis China Lin Dan bertanding melawan pebulutangkis Indonesia Tommy Sugiarto dalam ajang BCA Indonesia Open Superseries Premier 2015 di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (3/6/2015). Lin Dan kalah dalam pertandingan tersebut dengan skor 19-21 21-8 21-16. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Deodatus Pradipto/Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sikap pebulutangkis Tiongkok, Lin Dan, menolak wawancara dengan media menjadi perhatian besar dari Badminton World Federation (BWF). Sikap Lin Dan mencederai usaha BWF untuk meningkatkan popularitas bulutangkis ke seluruh dunia.

Lin Dan menolak diwawancarai selepas pertandingan melawan Tommy Sugiarto pada babak pertama BCA Indonesia Open Super Series Premier 2015, Rabu (3/6/2015).

Pihak panitia dan BWF telah berusaha mendesak Lin Dan, namun juara Olimpiade dua kali tetap menolak. Tidak diketahui apa alasan penolakan Lin Dan.

Staf komunikasi BWF yang memantau turnamen ini kemudian mengirimkan laporan sikap Lin Dan ke kantor pusat. Penolakan ini membuat Lin Dan terancam sanksi dari BWF.

Gayle Alleyne, Communications Manager BWF, menuturkan bahwa setiap pebulutangkis di dunia harus bersedia melayani wawancara dengan media selepas pertandingan. Maksud dari kewajiban itu adalah mempromosikan bulutangkis.

“Harapannya, bulutangkis semakin popular sehingga semakin banyak sponsor turnamen,” jelas Gayle kepada Tribun.

Menurut Gayle, pebulutangkis-pebulutangkis dunia akan mendapatkan insentif besar dari BWF jika meladeni wawancara dengan media maupun mengikuti kegiatan yang diliput oleh media.

Insentif itu diberikan kepada 10 pemain rangking teratas. Insentif itu diberikan secara akumulasi, tergantung seberapa sering mereka terekspos oleh media secara positif.

“Jika mereka diliput oleh media, mereka juga bisa menginspirasi anak-anak di seluruh dunia untuk menjadi pebulutangkis. Imbasnya, bulutangkis semakin tersebar, tidak di negara-negara itu saja. Pebulutangkis harus memainkan peranan mereka di sini,” kata Gayle.

Sebenarnya bukan hanya sikap seperti yang ditunjukkan Lin Dan yang kerap dialami oleh media. Seringkali pebulutangkis tidak memberikan informasi yang jelas dan panjang ketika diwawancarai oleh media.

Mereka cenderung menjawab sekadarnya dan enggan terlalu terbuka sisi humanis pebulutangkis. Sikap seperti ini kerap dikeluhkan oleh wartawan karena membatasi bahan laporan peliputan mereka.

Gayle menyadari bahwa sisi humanis seorang pebulutangkis sangat menarik untuk diangkat oleh media. Sisi humanis yang dimaksud adalah soal kisah-kisah inspiratif mereka.

Jika mereka mudah membuka sisi humanis mereka kepada media, kisah mereka bisa menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Lagi-lagi soal menjaga dan mengembangkan eksistensi bulutangkis di dunia olahraga.

BWF berusaha mengatasi permasalahan ini melalui program edukasi kemampuan berkomunikasi kepada para pebulutangkis. Pada setiap turnamen, para pebulutangkis juga diarahkan untuk memberikan tanggapan yang bagus kepada media.

Namun demikian, kemampuan itu kembali ke latar belakang budaya setiap pemain. Gayle tidak ragu menyebut pebulutangkis-pebulutangkis Eropa lebih mudah terbuka dengan media.

Budaya di Eropa membuat mereka menjadi pribadi yang lugas mengutarakan pikiran dan perasaan mereka kepada orang lain.

“Pemain Asia tidak seperti itu. Mereka cenderung sulit mengungkapkan semuanya,” ujar Gayle.

Fenomena seperti ini mudah ditemui pada beberapa pebulutangkis Indonesia. Jawaban mereka seperti sudah memiliki pakem dan sekadarnya. Menurut Gayle, ada sejumlah kemungkinan mengapa sikap seperti ini kerap terjadi pada pebulutangkis Indonesia.

“Apakah memang mereka dilarang memberikan banyak komentar atau memang mereka kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Padahal setahu saya pemain Indonesia lebih bebas berpendapat daripada pemain Tiongkok,” papar Gayle.

Gayle menilai para pebulutangkis Indonesia lebih ke arah kurang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Gayle kemudian menunjukkan sikap sejumlah pebulutangkis saat konferensi pers BCA Indonesia Open Super Series Premier 2015 awal pekan ini di Hotel Sultan.

Tanpa menyebut pebulutangkis yang dia maksud, Gayle menilai beberapa di antara mereka ada yang menunjukkan gestur kurang patut untuk konferensi pers.

“Di hadapan media, mereka harus menunjukkan kewibawaan dan kemantapan mereka untuk berkompetisi. Bukan duduk seperti malas-malasan. Apa yang mereka tunjukkan seperti kurang respek kepada orang yang mewawancarai mereka,” tutur Gayle.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini